Pelatih Marching Band memanggil semua siswa yang ikut ekstrakulikuler itu. Menyuruh mereka untuk berkumpul di lapangan sekolah. Ada hal penting yang harus didiskusikan dengan cepat.
Semua siswa berkumpul sebelum jam istirahat pertama, termasuk Nabel. Gadis itu mengeluh berulang kali. Tidak tahan menghadapi teriknya matahari yang membakar kulit meski terhalang oleh seragam sekolah. Peluh di dahinya terus bercucuran.
Kepalanya menoleh ke arah Nabila. Gadis itu tidak beda jauh seperti Nabel. Malahan, diam-diam dia membawa kipas angin kecil yang tersembunyi di balik jilbab besarnya. Nabel kadang meminjamnya sebentar. Bergantian memakai benda itu dengan Nabila. Beruntung Nabila tidak mempermasalahkannya.
Pelatih memberi arahan dengan jelas dan gamblang. Membagi bagian anak didiknya dengan adil, sesuai yang mereka tulis di kertas kemarin. Setelah ini, mereka harus giat latihan untuk mempersiapkan acara tersebut.
Acara Agustus-an akan berlangsung dan sekolah mereka ditunjuk untuk mengisi Marching Band di alun-alun kota sama seperti sebelumnya. Mereka diberi kesempatan untuk tampil di depan siswa Negeri. Kesempatan ini digunakan untuk membuktikan kepada mereka jika santri juga bisa aktif seperti mereka. Mengikuti ekstrakulikuler dan kegiatan penting di luar pondok.
Nabila mendapat bagian untuk memegang terompet. Dia sangat antusias mendengar namanya disebut oleh pelatih pada bagian itu.
Sedangkan Nabel mendapat bagian mayoret, tapi bukan yang utama. Padahal, awalnya dia berharap mendapat posisi utama, nyatanya tidak. Tak apa. Mungkin, Nabel tidak se-percaya diri seperti dulu.
“Yang jadi mayoret utama mana orangnya?” tanya Nabel pada Nabila. Gadis itu menoleh.
“Mba Ferly. Tahun sebelumnya juga dia. Itu orangnya.” Dia menunjuk salah satu kakak kelas mereka yang sedang tertawa bahagia dengan teman sebayanya.
Pantes aja. Udah cantik, pinter nahwu-sharaf lagi, batin Nabel seraya tersenyum.
Ferly adalah kakak kelasnya. Duduk di bangku kelas 11 jurusan IPA dan menjabat sebagai IS bagian tarbiyah. Dia sering mengisi muhadatsah dengan pelajaran nahwu-sharaf. Pelajaran yang menurut Nabel susah karena baru mempelajarinya di bangku Aliyah.
Ferly pindahan dari Pondok Pesantren Modern Gontor. Sistem pendidikan di sana berbeda dengan di sini. Seharusnya dia sudah kelas 12 sekarang. Namun karena pindah, dia jadi kelas 11. Kata teman-temannya gitu. Tak heran Ferly pintar nahwu-sharaf. Bahasa keseharian di pondok Gontor aja Arab dan Inggris. Ferly juga pintar bahasa Inggris. Sungguh, Nabel iri.
“Gak gantian sama yang lain, Bil?” tanya Nabel. Nabila mengernyit bingung.
“Apanya?”
“Mayoretnya. Kata kamu, kemarin mayoret utama mba Ferly. Tahun ini juga mba Ferly lagi.” Nabila ber-oh-ria.
“Gak tau, sih. Nyari yang skill-nya jos sama cantik kayaknya.”
Nabel menoleh. Cantik? Semua yang jadi mayoret perempuan. Tentu saja mereka cantik, bukan tampan. Tapi kalau pelatih memilih kriteria itu untuk jadi mayoret, jelas Nabel mundur. Tidak mungkin dia jadi mayoret utama. Nabel sadar diri. Dia tidak sebanding dengan Ferly.
Apa perlu Nabel menunggu kakak kelasnya itu lulus baru dia ada harapan untuk jadi maayoret utama?
Entahlah.
Kedua gadis itu bergerak bersama siswa lain menuju gudang sebelah gedung MTs. Tempat di mana peralatan Marching Band terkumpul menjadi satu. Pelatih meminta mereka untuk mengambil alat masing-masing sesuai bagian.
Nabila segera mengambil terompet dengan wajah berbinar. Dia menunjukkan benda itu ke hadapan Nabel. Senyum di wajahnya terukir.
“Ih! Aku seneng banget bisa main terompet lagi,” ucap Nabila. Nabel tersenyum. Dia ikut senang mendengarnya.