Santri tampak bersuka cita menyambut hari Kemerdekaan. Di mana pelajaran akan diliburkan dan diganti dengan upacara di alun-alun kota.
Sebenarnya, bukan ini yang membuat mereka senang. Melainkan kesempatan untuk membeli jajan yang dijual di pinggir alun-alun kota. Mereka tidak diperbolehkan keluar selain hari Minggu. Di hari itu pula, santri yang keluar juga dibatasi. Sekamar maksimal mengirimkan 2 santriwati untuk keluar membeli kebutuhan.
Lantas, bagaimana dengan nasib santriwati lain yang ingin keluar juga?
Gantian.
Ada 4 Minggu dalam sebulan. Mereka bisa keluar bergantian setelah berunding dengan anak kamar. Atau, minta orang tua untuk menjenguk agar bisa keluar dengan mereka.
Juga, di hari Minggu ada 3 kesempatan untuk 6 santriwati per-kamar agar bisa keluar. Caranya adalah keluar dengan waktu yang sudah ditentukan. Misal, 2 santriwati dari kamar Nabel keluar di jam 8 pagi setelah bersih-bersih pondok. Batas kembali ke pesantren adalah jam 09.30. Dengan begitu, 2 santriwati lain bisa bergantian keluar asal tidak melewati batas waktu shalat Dzuhur.
Ribet? Memang.
Terlebih setelah pondok menetapkan aturan baru. Santriwati hampir tidak diperbolehkan keluar selama menetap di sana terkecuali jika dijenguk. Alternatif lain yang mereka gunakan adalah titip santriwan keluar. Hanya santriwan yang diperbolehkan keluar-masuk pesantren tiap harinya asal tidak melewati batas shalat Ashar.
Enak? Banget.
Santriwan yang paling enak hidupnya di pondok ini. Sampai-sampai protes santriwati kepada pemilik yayasan tidak didengarkan.
“Bel, sini!”
Sasa, Nabila, Afi, Meta, dan Dina datang menghampiri Nabel yang berdiri di tengah halaman pondok. Ada banyak santriwati yang berkumpul di sini. Menunggu arahan dari IS untuk pergi ke masjid. Nonton film bareng.
Nabel menoleh lantas tersenyum. Dia bergegas mendekati mereka. Netranya memandang barang bawaan teman-temannya. “Kalian bawa apa?”
Nabila menunjukkan sekotak cemilan ke arah Nabel. “Cemilan dong.”
“Aku bawa boneka.” Nabel terhenyak. Untuk apa Afi membawa boneka? Ada-ada saja.
“Buat apa, Fi?” tanya Nabel.
“Buat dipeluklah! Boleh bawa boneka ini.” Nabel merotasikan bola matanya sebentar.
“Iya deh.”
“Aku bawa minum aja.” Sasa menunjukkan botol yang cukup besar berisi air mineral.
“Aku bawa permen.” Dina bersuara sembari mengeluarkan beberapa permen dari dalam saku. Lantas, dia membagikannya kepada mereka.
“Makasih,” ucap Nabel kepada Dina. Sang empu hanya mengangguk.
“Aku gak bawa apa-apa,” kata Meta lirih. Nabel tersenyum. Ini dia partnernya.
“Aku juga, Met. Sama.” Mereka mendengus terkecuali Nabel dan Meta yang tengah bertatapan seraya cengengesan. Nyari untung berada di antara mereka yang membawa makanan.
“Bel, bonekamu tak bawa.”