Sowon

Bella Puteri Nurhidayati
Chapter #16

[16.] Iri

Nabel tersadar dari alam mimpi begitu telinganya menangkap suara orang lain di dekatnya. Mau tak mau, kelopak matanya pun terbuka. Terlebih ketika otaknya mengingat ucapan Laela tadi pagi. Gadis itu bilang hendak menemuinya di kamar ketika bel istirahat berbunyi.

Kepala Nabel menoleh ke arah samping. Di sebelahnya sudah ada Naila yang akhir-akhir ini sakit tanpa alasan yang jelas. Dia meringkuk dalam diam. Selain itu, ada 3 ustadzah yang salah satunya adalah wali kamar Nabel. Mereka sama-sama mengkhawatirkan Naila yang tak kunjung merespon dan juga makan sejak kemarin.

Marfu’ah, ustadzah paling muda di antara ketiga temannya kembali bersuara, “Makan, Nai. Dari kemarin gak makan, lho. Apa perutmu gak perih? Katanya punya maag. Nanti maag-nya malah kambuh. Ayo, makan dulu! Tak bawain bubur, lho.” Tangannya yang memegang seporsi bubur terangkat, menunjukkannya pada Naila.

Gadis itu tetap diam dengan pandangan kosong.

“Iya, Nai. Apa mau tak panggilin ustadzah Lilis buat jengukin kamu ke sini?” Naila menggeleng pelan lalu menggigit ibu jarinya.

Nabel terus menyaksikan interaksi mereka. Mereka mungkin tak sadar dan mengira Nabel masih tidur tanpa beban di sebelahnya. Padahal wali kamarnya sempat bertatapan dengan Nabel sebentar namun langsung berpaling dengan cepat. Dia kembali nimbrung bersama teman-temannya.

Naila ini salah satu keponakan pemilik yayasan pondok. Ustadzah Lilis tak lain adalah istri dari ustadz Kasno. Dia yang ditugasi oleh ibunda Naila untuk menjaga Naila di sini jika gadis itu memberontak seperti saat ini. Penginnya pulang tapi ketika ditanya alasan Naila tidak menjawabnya. Yang mereka tau, Naila tidak betah berada di pondok ini. Padahal banyak yang peduli padanya. Nabel kadang iri.

Ada banyak yang mendukung Naila di sini termasuk kedua orang tuanya. Namun, Naila kukuh dengan pendiriannya. Dari awal, dia ke sini karena kemauan orang tuanya. Ibunya dulu alumni pondok sini. Naila sudah tidak betah berada di pondok ini sejak awal masuk, padahal ada Jihan—teman SMP-nya dulu yang tidur di sebelah Naila. Menemani Naila ke manapun gadis itu pergi.

Belum lagi hampir semua ustadzah peduli ke Naila. Ketika Naila sakit, mereka selalu bergantian menjenguknya. Menyemangati juga menghibur Naila agar betah di sini. Tapi semua usahanya itu sia-sia karena Naila tetap ingin pindah dari sini.

Sedangkan Nabel? Sakit saja tidak ada yang peduli. Padahal ketika ada teman kamarnya yang sakit, dia menyempatkan diri untuk menjaganya, tak terkecuali Naila. Meski hanya sebentar, setidaknya Nabel menjalankan tugasnya sebagai seksi kesehatan.

Tapi apa balasan mereka?

Mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Berlalu lalang di dekat Nabel tanpa ingin singgah sebentar sekadar menanyakan, apa Nabel sudah makan? Atau, apa Nabel sudah minum obat?

Tidak ada. Itu semua hanyalah angan-angan Nabel.

Salahkah jika Nabel iri kepada Naila? Ada banyak yang mendukung Naila di sisinya tapi Nabel? Tidak ada.

Hidupnya terlalu monoton. Orang tuanya tampak tak peduli begitu sudah memasukkan Nabel ke pesantren. Mereka hanya menjenguk dan memberinya uang saku. Tidak tau beban hidup  yang Nabel tanggung selama ini. Jangankan tau. Mencari tahu saja sepertinya tidak pernah.

Nabel menertawai dirinya sendiri.

“Eh, Nabel udah bangun. Udah makan?”

Akhirnya, kalimat yang Nabel tunggu meluncur meski bukan dari wali kamarnya. Gadis itu menoleh ke arah ustadzah Marfu’ah. Gelengan kecil dia berikan sembari mengulas senyum tipis. Kepalanya masih pusing sekedar untuk mengubah posisi tidur.

Marfu’ah tersenyum. “Nabel mandiri, yah. Mau Ustadzah ambilin makan? Kayaknya sisa makan tadi pagi masih ada.”

Nabel berdecih lirih. Sisa, yah? Sayang sekali Nabel jadi tidak napsu makan.

“Nanti aja.” Jawaban itu akhirnya meluncur dari mulut Nabel sebelum kelopak matanya kembali terpejam. Lebih baik dia melanjutkan tidurnya daripada melihat interaksi mereka.

Lihat selengkapnya