Sore ini adalah latihan terakhir Marching Band.
Persiapan sudah matang. Baju seragaman sudah diberikan kepada anggota Marching Band begitupun alatnya. Mereka berlatih dengan giat pagi, siang, dan sore. Malam digunakan untuk beristirahat.
Nabel yang sudah baikan akhirnya ikut latihan lagi. Tubuhnya kembali fit seperti biasa. Naila juga sudah mulai bangkit dari keterpurukannya. Terbukti jika dia mulai beraktivitas sama seperti santri lain. Ucapan Nabel tempo lalu berhasil menyadarkannya. Nabel senang akan hal itu.
Kini, dia tengah beristirahat usai menyelesaikan latihannya. Menegak minuman dingin dengan keringat mengalir di leher dan pelipisnya. Sementara netranya menjelajah sekeliling. Tampak mahasiswa PKL tengah bermain basket di lapangan.
Nabel tersenyum kala matanya menemukan sosok Hari di sana. Pria itu tampak begitu mungil berada di antara teman-temannya. Gerak-geriknya terlihat lucu di mata Nabel. Terlebih ketika dia tersenyum. Manis membuat Nabel candu. Betah berlama-lama melihat parasnya.
Sebentar lagi, Hari dan teman-temannya akan berpamitan karena masa PKL-nya telah usai. Nabel sedih mendengar hal itu. Dia berusaha meluangkan waktunya untuk pergi ke perpustakaan demi melihat Hari dengan beralasan meminjam buku. Nabel menggunakan waktunya sebaik mungkin agar tidak menyesal di akhir nanti.
Kapan lagi dia bisa melihat Hari? Nabel pesimis jika setelah pertemuan ini, mereka tidak bisa bertemu lagi. Kalau pun Nabel lulus dan melanjutkan study-nya di kampus yang sama dengan Hari, percuma. Pria itu sudah menamatkan kuliahnya di sana.
“Ayo, Bel balik!”
Ajakan Nabila menyadarkan Nabel dari lamunannya. Dia tersenyum lalu bangkit, berjalan beriringan menuju kamar masing-masing.
***
Nabel melihat kardus berisi makanan miliknya. Ada minuman rasa taro yang tidak dia sukai di sana. Pemberian dari ibunya Minggu lalu ketika dijenguk. Nabel mengambilnya, berniat untuk memberikan itu kepada anak kamarnya.
“Ada yang mau?” Nabel mengangkat minuman sachet tinggi-tinggi. Seketika, mereka menyerbu Nabel untuk meminta jajannya.
Nabel segera membagikannya kepada mereka. Termasuk teman yang dulunya tidak suka ke Nabel, dia tetap memberinya jajan. Nabel bukan orang pendendam. Masalah yang telah lalu sebagian besar terhapus oleh memori otaknya. Nabel tidak lagi memikirkan itu karena tak ingin kembali terpuruk. Lagipula, Nabel tidak mempermasalahkan hal itu.
“Kenapa gak disisain buat kamu?” tanya Rahma. Nabel segera menutup kardusnya dan menaruh benda itu ke tempat semula.
Dia menoleh. “Aku gak suka.”
“Gak suka kenapa dibeli?”
“Mama yang beli. Bawa dari rumah.” Rahma mengangguk paham.
“Makasih, ya.” Anggukan kecil Nabel berikan untuk Rahma. Lantas, gadis itu pergi dari hadapan Nabel.
Karena sudah tidak ingin melakukan apapun di kamar ini, Nabel memilih untuk pergi ke kamar sebelah. Bersantai ria juga bercanda bersama Sasa dan yang lain. Apalagi kalau diajakin ngintip cogan sama Afi. Nabel tentu tidak akan menyia-nyiakan hal itu meski kadang mendapat teguran dari Sasa.
Seperti saat ini. Begitu Nabel menginjakkan kaki di kamar Khafsah kecil, Afi, Dina, dan juga Meta sudah stay di dipan atas dengan mata mengintip keadaan luar. Sementara Sasa asik membaca buku di dipan bawah. Nabila sibuk menggambar sketsa wajah Kristal—salah satu girband asal Korea Selatan. Tak ingin mengganggu Nabila dan juga Sasa, Nabel memilih untuk ikut berkumpul bersama Afi dan yang lain di dipan atas.
“Lagi lihat apa?” tanya Nabel memecah keheningan. Ketiga gadis itu menoleh serempak.
“Itu, anak cowok ada yang lagi ultah. Mau diceburin ke kolam,” jawab Dina. Mata Nabel membulat.
“Geser dong! Pengin lihat.”
Meta segera bergeser, memberi ruang untuk Nabel. Kini, keempat remaja itu sama-sama memandang luar. Lebih tepatnya, melihat segerombol santriwan yang baru saja pulang sehabis mengikuti kelas Muhadatsah malam.
“Bukannya udah pulang daritadi?” tanya Nabel kepo.
“Iya. Itu gara-gara gak berhasil jeburin yang ultah jadi masih di sana,” balas Afi. Kepala Nabel mengangguk.
BYUR!