Aku cepat-cepat menunduk, pura-pura sibuk mengaduk sendok di dalam cangkir . Tapi tanganku sedikit gemetar. Dari balik pantulan kaca jendela, aku bisa melihatnya masih menatap, seakan menunggu sesuatu dariku.
Aku mencoba meyakinkan diri sendiri: Bisa saja ini kebetulan. Hanya orang asing. Tidak ada hubungannya denganku.
Namun, ketika aku mengangkat cangkir dan menyeruput coklat hangat itu, suara langkah mendekat membuat jantungku berhenti sejenak.
“Sendirian?” suara berat itu terdengar begitu dekat.
Aku mendongak. Dia berdiri di samping mejaku, dengan senyum tipis yang entah kenapa membuatku sulit menebak apakah itu ramah atau penuh perhitungan.
Aku terdiam. Otakku berusaha mencari alasan untuk menolak percakapan ini. Tapi sebelum aku sempat bicara, dia menarik kursi di hadapanku dan duduk tanpa meminta izin.
“Jarang sekali ketemu orang Indonesia di kota kecil begini,” katanya ringan, sambil menyandarkan tubuh ke kursi. “Nama gue Tama.”
Aku masih menatapnya, setengah curiga, lalu aku hanya menjawab "humm oke"
" lu siapa?" tanyanya lagi
“Aku… Kiara.” jawabku seadanya
Senyum itu makin mengembang. “Kiara.” Ia mengulang pelan, seakan sedang mencicipi nama itu. “Lo di sini untuk liburan?”
Aku menggeleng. “Aku kuliah di sini. Baru mulai semester ini.”
“Beasiswa, ya?” tanyanya cepat, seolah sudah menebak.
Aku menatapnya heran. “Iya… kok kamu tahu?”
Tama mengangkat bahu santai. “Feeling. Biasanya kalau orang Indo bisa sampai Ljubljana, entah kerja atau kuliah. Liburan jarang ada yang milih kota ini.”
Aku terdiam, setengah terkesan karena tebakan itu tepat, setengah tidak nyaman karena dia terdengar seolah tahu banyak.
Dia menatapku lebih dalam. “Apa lo percaya sama kebetulan, Kiara?” tanyanya tiba-tiba, nadanya datar tapi penuh makna.
Aku tersentak. Pertanyaan itu meluncur begitu saja, seakan dia tahu isi kepalaku.
Aku menarik napas dalam. “Mungkin.”
Tama tersenyum samar, lalu menyandarkan diri lebih dekat ke meja. “Atau mungkin… ada alasan kenapa kita ketemu dua kali di hari yang sama.”
Nafasku seperti terhenti, bagaimana bisa orang yang tidak sengaja aku temui bisa membuatku menjadi membeku seperti ini. "Kebetulan" jawabaku singkat dengan senyum getir diujung bibirku tetapi kepalaku berisik ternyata dia juga menyadari pertemuan ini adalah pertemuan yang kedua kami.
Tama tidak langsung merespons. Dia hanya menatapku lama, seakan ingin membaca apa yang ada di balik kalimat sederhana itu. Senyum tipisnya tak hilang, tapi ada sesuatu di matanya yang membuatku merasa seperti sedang dipelajari.
“Kalau memang kebetulan…” ia mengangkat cangkir kopi miliknya, “…kenapa gue ngerasa lo bakal muncul lagi, Kiara?”
Aku menegakkan punggung, mencoba terlihat tenang padahal jantungku berdentum begitu keras. “Mungkin karena kota ini kecil. Semua orang pasti ketemu lagi.”
Tama tertawa pelan, rendah, nyaris seperti gumaman. “Atau mungkin semesta punya caranya sendiri buat bikin kita duduk di meja yang sama.”
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Kata-katanya terdengar ringan, tapi ada beban aneh yang membuatku tidak bisa sekadar menganggapnya basa-basi.
Hening sejenak. Aku sibuk memainkan sendok kecil di dalam cangkir hot chocolate-ku yang sudah hampir habis, sementara matanya masih mengawasiku. Lalu ia bersandar lebih dekat, suara rendahnya menembus kebisingan kafe.