Aku menarik napas panjang sebelum kembali masuk ke aula. Musik klasik masih mengalun, tawa dan obrolan para mahasiswa internasional memenuhi ruangan. Seolah kejadian di lorong tadi hanya kejutan singkat yang tak pernah benar-benar terjadi.
Aku segera menghampiri sekelompok mahasiswa baru yang kukenal dari orientasi. Mereka menyambut dengan ramah, membuatku sedikit lega. Ada Ayse dari Turki, Lukas dari Jerman, dan Naomi dari Jepang. Wajah-wajah mereka penuh semangat saat bercerita tentang makanan khas negara masing-masing, profesor yang katanya terkenal disiplin, juga tentang betapa sulitnya beradaptasi dengan bahasa Slovenia.
Aku ikut tertawa kecil, menimpali seperlunya. Namun pikiranku tidak sepenuhnya ada di sana. Dari sudut mata, aku sempat melihat Tama berdiri di dekat pintu aula—seperti sedang mengawasiku. Senyum tipis itu masih sama: terlalu tenang, terlalu penuh rahasia.
Aku buru-buru mengalihkan pandangan, menunduk pada piring di depanku. Tapi kepalaku berisik. Apa sebenarnya yang diinginkan manusia itu? Kenapa dia terus mengawasiku? Dasar cowok aneh. Fix, aku harus menjauh. Firasatku pasti tidak salah. Tama bukan orang yang seharusnya dekat denganku. Suara hatiku berkata jelas: suatu hari nanti, dia akan menambah masalah baru dalam hidupku.
Dan kali ini, aku berjanji pada diriku sendiri: aku tidak boleh membiarkan dia masuk lebih jauh.
Keesokan paginya, udara Ljubljana terasa dingin menusuk saat aku berjalan menuju gedung kampus. Bangunan tua bercat putih berdiri megah di hadapanku. Pintu kayunya berderit pelan ketika kudorong masuk.
Ini hari pertamaku kuliah—dan aku berusaha keras menyingkirkan bayangan buruk dari kepalaku. Lorong kampus dipenuhi mahasiswa yang sibuk mencari ruang kelas. Bahasa asing bercampur di udara: Slovenia, Inggris, Jerman, bahkan sedikit bahasa Prancis. Aku merapatkan jaket, menunduk sambil menelusuri jadwal di tanganku: History of Architecture, Room 203.
Saat akhirnya menemukan ruang itu, aku duduk di bangku tengah. Kubuka buku catatan, menarik napas, mencoba menenangkan diri. Profesor masuk tepat waktu, seorang pria paruh baya berkacamata dengan wajah tegas. Tanpa basa-basi, ia langsung menjelaskan perkembangan arsitektur abad pertengahan.