Space Bound

Maina Suryani
Chapter #1

1. Space Bound

Di balik pintu ruangan dengan cahaya remang-remang, samar ku lihat kau menatap jendela yang bertrali dengan tatapan yang kosong. Ada sinar rembulan warnannya biru, disebut dengan blue moon. Sungguh tajam penglihatan ini. Biasanya, hal yang seperti ini adalah hal benar-benar romantis. Suasana bagaikan film-film atau drama bergenre romansa dari Asia Timur, background seperti inilah yang didambakan oleh setiap kaula muda-mudi di dunia nyata. Asal kau tahu, dulu aku juga mengharapkannya untuk bisa bersanding dengan seseorang, agar aku juga dapat momentum menghitung jumlah bintang yang ada di angkasa, sambil tiduran dengan tikar yang sudah terkembang di atas rumput hijau, yang dibelakangnya ada tenda perkemahan juga. Sayangnya, pada masa mudaku aku terlambat untuk jatuh cinta sebab aku fokus akan duniaku yaitu belajar. Menggapai mimpi menjadi orang yang berguna. Setelah aku telah mulai mapan, mendapatkan kerja yang tetap, walau aku bekerja sebagai perawat di rumah sakit jiwa, cinta itu datang saat kau datang menjadi pasien di sini. Wajahmu yang tampan dengan bentuk tirus yang amat sempurna, serta hidung yang tampan dan bibirmu yang tipis itu telah membiusku meskipun ada bulu-bulu halus tumbuh diwajahmu. Kulitmu yang cantik dan tinggi badanmu yang ideal membuat diriku mendadak tak bisa berhenti memikirkanmu. Wahai Lusiano Mantovani, atau Lusi. Kau mencuri duniaku, dan pikiranku sekarang semua tentang kamu.

Setiap malam aku memikirkan semuanya tentang kamu. Bahkan aku rela mengambil lembur biar kamu tetap baik-baik saja. Ku lihat kau memandang jendela dikamarmu. Pandanganmu ku lihat dari belakang serasa amat kosong. Di samping kananmu, aku lihat ada sebuah ponsel yang diberikan oleh seseorang. Kau menghidupkan sebuah nyanyian yang berasal dari penyanyi rap ternama yang berjudul Space Bound dari Eminem. Kau menghayati isi lagunya dalam lamunan. Kepalamu mengangguk seakan menghayati. Sangat fokus ..., dan benar-benar hanyut. Ritme setiap kalimat dengan menggunakan bahasa Inggris itu membuat kepalamu itu menikmati ketukannya. Hey Lusi, aku kenal dengan lagu itu. Itu adalah single Eminem yang sebenarnya juga membuatku ikut rapuh. Aku tau isi liriknya, dan kisah dibalik lagu itu. Apalagi yang paling membuatku tambah ikut menangis, pas bagian reff, ada suatu unsur magis yang membuatku merasa ini bukan lagu romansa biasa. Lagu ini memiliki nada yang amat dingin, tapi kau juga turut sakit hati.

Lagu itu terputar begitu kencang. Bahkan kau turut menangis karenanya, tersedu-sedu seakan-akan kau mengalami kisah yang sama dengan lagu itu. Saat aku memperhatikamu, tiba-tiba ada seorang wanita yang datang menghampiriku.

"Vita, kamu harus istirahat."

Dia adalah sahabatku bernama Kania. Seorang gadis berkulit sawo matang, dan agak sedikit gemuk menyarankan aku untuk rehat. Dia benar, siang malam aku menjagamu aku harus istirahat. Untung saja, dirumah sakit ini ada tempat tidur khusus menginap para suster kalau mereka memilih untuk lembur. Tempat tidur bertingkat, dan hanya aku saja yang ada di sana sendirian. Kemudian, aku membaringkan diri di sana. Sebelum tidur, aku membayangkan wajahmu dalam kepalaku. Tak bisa bibir ini berhenti bicara, mulut ini selalu komat-kamit seperti seseorang yang sedang merapal mantra. Ada perasaan yang begitu berat dan untuk pertama kalinya kini aku tanggung. Aku merasakan cinta, detak jantungnya membuat setiap aliran darahku mengalir, dari ujung kaki ke ujung kepala. Hal yang ku bayangkan bersamamu ketika kau sudah pulih. Aku tidak pernah berkencan seumur hidupku.

Kemudian aku tertidur. Aku memicingkan mata, tepat jam 12 malam. Aku tidur selama se-jam. Kemudian ada sesuatu yang rasanya mengganggu di area rumah sakit jiwa, yang sedikit mencekam ini. Aku mendengar suara hentakan kaki, seakan ia dikejar oleh seseorang. Aku kemudian beranjak dari tempat tidur dan mencari sumber suaranya.

"Bukan aku! Bukan aku!" Suara yang aku kenal. Suara seorang pria yang sangat tidak asing ditelingaku.

"Lusi!" Aku kemudian tersentak dan berusaha berlari mengejarnya. Dia bertingkah lagi, priaku yang malang sedang bangkit penyakitnya. Aku mencari di mana dia berada. Di rumah sakit ini, semua perawat sudah pada pulang, kecuali aku yang memilih untuk lembur.

"Bukan aku! Bukan aku!" Ujarnya. Lusi selalu mengucapkan kalimat itu setiap kali depresinya kambuh. Dan, aku menemukannya yang seakan menaiki anak tangga. Larinya begitu kencang, hingga aku sedikit kewalahan mengejarnya. Hingga beberapa saat kemudian, aku melihat dia sudah berada diatap gedung, tepatnya di lantai 3. Pasti dia mencoba untuk bunuh diri lagi.

Dia memanjat tembok yang merupakan sebuah balkon penghalang. Dengan beraninya, dia menundukkan kepalanya ke bawah. Kemudian dia memutar arah badannya, sambil mengelilinginya. Aku saja, yang melihatnya jantungan. Aku cemas melihat dia dengan keadaan seperti ini. Lusi, aku mohon jangan seperti ini.

"Lusi, turun!" Perintahku padanya. Kemudian dia menghadapkan dirinya kepadaku, tapi posisinya dia masih mengelilingi balkon tersebut.

"Apa kamu percaya bukan aku yang melakukannya?" Ujar Lusi dengan tatapan seolah-olah dia putus asa. Apa yang terjadi padamu Lusi? Untuk pertama kalinya kau bicara kepadaku. Aku bingung apa yang harus aku jawab. Secara aku tidak tau apa-apa tentangmu lantaran aku ini adalah orang baru. Aku baru hadir dalam kehidupanmu. Kau kemudian menangis dihadapanku, bahkan jauh lebih tersedu-sedu. Airmatamu tumpah, dan kau menangis. Berapa lama kau menanggung luka Lusi? Mau aku jawab tidak tau, tapi aku takut kau marah.

"Tidak ada yang percaya padaku." Ujarnya dengan suara yang bergetar, dia kemudian hendak menjatuhkan badannya, namun aku meraih salah satu tangannya, kemudian kami berdua jatuh diatas lantai atap rumah sakit ini, intinya dia jatuh dari balkon berada dipelukanku. Setelah itu, kami berdua terbangun. Aksi rencana bunuh diri Lusi, gagal untuk yang kedua kalinya. Lusi marah-marah melampiaskan semua kekesalannya itu. Lebih baik kau marah-marah padaku Lusi, daripada kau harus mati konyol lalu ujung-ujungnya neraka menantimu.

Dia terus merengek seperti anak kecil, seakan dia minta ada seseorang yang mempercayainya. Baiklah Lusi jika kau membutuhkan itu, aku akan datang mempercayainya. Tanpa izinmu, aku memelukmu. Walau detak jantungku sebenarnya membuatku sedikit kaku, tapi kau membutuhkan itu. Ku gosok punggungmu dan mendengar tangisanmu yang sesegukan itu.

"Tidak ada yang percaya padaku."

"Lusi, aku percaya padamu. Aku percaya"

Lusi, aku tidak tau apa yang harus tidak aku percayai. Tapi demi menenangkanmu aku rela membuatmu tidak menangis lagi. Aku memelukmu dalam dekapanku, hingga kita berdua terlelap di atas balkon.

__________________________________________________________________________________________________

" Sejak kapan mereka tertidur di sini??" Suara seorang wanita masuk ke kupingku. Suaranya tak hanya satu, tapi banyak. Mata ini terasa berat rasanya untuk dibuka. Ku lihat dengan tatapan buram, ada banyak orang dan suasanya sudah pagi. Kemudian, bagian lenganku serasa berat. Aku menoleh ke arah kanan, rupanya disampingku ada kau yang memelukku seperti bantal. Aku terkejut, dan ku lihat suasananya sudah pagi.

Lihat selengkapnya