20 Mei 2010
Setelah dua belas jam online di empat warnet, dan mengamati ratusan komputer korban virus ciptaannya, malam ini Vergis Toha kembali gentar akan karma. Keluar dari warnet terakhir, pemuda setinggi 170 sentimeter itu berdiri termenung di samping pintu masuk warnet ATRO.
Langit gelap kemerahan, bulan dan bintang tak tampak di sana, sementara di pinggir jalan beberapa lampu penerangan berkomplot untuk tidak bersinar. Suasana temaram itu membuat Vergis semakin gundah. Lalu, sebaris nasihat kembali melintas di kepalanya.
Berhentilah, Gis!
Vergis menghela napas. Dadanya terasa sesak. Seandainya semudah itu, sudah dari dulu ia turuti. Berhenti dari kegiatan sekarang dan mencari pekerjaan di perusahaan. Rinjani, kekasihnya pun tak bosan-bosannya mengingatkan Vergis untuk berhenti.
Vergis menghirup napas dalam-dalam, mencoba melonggarkan sesak di dadanya. Di sini terasa jauh lebih segar. Sangat berbeda dengan di dalam tadi.
Di dalam warnet sungguh menyesakkan. Ruangannya sempit dan hanya punya satu jendela kecil, sementara hampir semua pengunjungnya merokok. Kipas angin yang menempel di dinding membuat asap menyebar merata. Walaupun begitu, tempat itu sungguh merupakan tempat sempurna bagi mereka yang paranoid dan tidak ingin dikenali. Seperti Vergis.
Selain pengap, ATRO yang menawarkan koneksi cepat berharga murah itu juga dijaga oleh pecandu berat game yang tidak sabaran dan tidak peduli kepada pengunjung. Kombinasi itu membuat warnet itu menjadi pilihan sempurna penghuni bawah tanah dunia maya untuk bergentayangan.
Vergis memandang sekelilingnya. Dua meter di depan pagar dipenuhi karat, di kiri tiang bata gerbang keluar, berdiri sebatang bambu berwarna kuning pudar yang dipasangi lampu neon. Lampu itu berdengung keras, tetapi cahayanya hanya menembus radius dua meter, meremangi tembok di pinggir jalan setapak depan warnet yang berwarna abu-abu gelap. Sepuluh meter di depan, suasana sungguh kelam. Vergis masih berusia 26 tahun, tetapi pikiran dan suasana kelam ini membuatnya merasa jauh lebih tua.
Pemuda berkulit sawo mentah itu membetulkan posisi topinya, lalu meraba kantong depan jaket jinsnya. Mulutnya terasa asam. Dorongan untuk merokok mendesaknya. Ragu-ragu, ia keluarkan bungkus rokok dari saku jaketnya. Vergis memeriksa. Bungkus itu agak penyok. Isinya tinggal empat.
Setelah membasahi bibir dan bertekad menjadikan bungkus itu yang terakhir—tekad yang sama sejak empat bulan lalu—ia pun mengambil dan menyalakan sebatang.
Penipu. Pecandu.
Vergis menelan ludah, menelan semua makian itu.
Sialan. Protes itu tak bosan-bosannya mengejekku, pikir Vergis.
Akan tetapi, ejekan itu tak mengurungkan niat Vergis untuk merokok.
Sekejap kemudian, suara gemeretak cengkih terbakar terdengar. Asap putih menyebar, berkepul-kepul membentuk lukisan abstrak. Vergis memejamkan mata, lalu berdoa agar kepulan selanjutnya membawa serta segala kegundahannya. Saat ia membuka mata, seolah mengejeknya, kepulan asap melenggak-lenggok tak beraturan.
Suara cericit terdengar.
Vergis menoleh ke kiri. Dari ember bekas cat yang sekarang dijadikan tempat sampah, keluar seekor tikus hitam gendut yang ekornya luar biasa panjang. Makhluk itu melompat dari tempat sampah, mengendus-endus sesaat, lalu menyeberangi halaman warnet, sebelum masuk ke got di pinggir jalan. Gerak gerik binatang itu membuat Vergis menelan ludah. Sebersit keheranan ikut melintas di pikirannya. Jalan sepi dan remang yang ada di depannya itu berada di Jakarta, di tengah kota pula. Namun, sekarang, sudah tak tampak lagi lalu-lalang manusia. Padahal, beberapa jam sebelumnya, jalanan yang menuju perumahan itu sangatlah ramai. Saat tengah malam begini Tanah Abang seperti kota mati. Vergis merutuk.
Manusia memang beristirahat di malam hari. Cuma makhluk got yang berkeliaran selarut ini! pikir Vergis.
Setelah tikus gendut itu menghilang dari pandangan, Vergis mengisap lagi rokoknya, lalu melangkah pergi.
Berjalan menyusuri jalan setapak, Vergis menunduk dan menatap pasir, kerikil, serta sampah plastik yang bergelimpangan seperti jembel di jembatan penyeberangan. Suara plastik terinjak bergemeresik. Jalan setapak itu tampak berlubang dan bergelombang, mengingatkan Vergis akan jalan kehidupannya. Ingatan itu membuatnya muak.
Kehidupan macam apa yang sedang aku jalani ini? pikir Vergis.
Dari sisi jalan, bau busuk tercium. Vergis meludah.
Vergis terus melangkah menembus keremangan malam. Kini di kiri dan kanan jalan tembok penuh coretan berwarna putih, hitam, merah dan biru. Gambar, tulisan, dan simbol-simbol aneh berlomba mengisi ruang tembok itu. Coretan-coretan itu pun membuat Vergis teringat akan pekerjaannya sekarang. Kerusakan yang ia buat lebih parah daripada ulah orang-orang yang mencoreti dinding itu.
Berhentilah, Gis!
Vergis mengembuskan asap rokoknya kuat-kuat.
Ketika melewati pertigaan, sebuah seruan terdengar. Jantung Vergis berdebar lebih kencang, bulu kuduknya meremang; Vergis menggigit bibirnya.
“Bocah Koplak!”
Suara itu terdengar berat. Mungkin suara makhluk jantan. Apakah itu genderuwo? Vergis merasa tengkuknya dingin. Kalau saja sedang berada di kampung halaman, pasti ia sudah lari mendengar panggilan itu. Namun, ini Jakarta. Genderuwo pasti sudah digusur.
Kalaupun itu hantu, dari mana makhluk itu tahu namaku? pikir Vergis.
Vergis menggeleng. Ini mustahil. Pasti salah dengar. Hampir tiga tahun ini nama itu hanya berkeliaran di layar komputer. Nama yang agak memalukan sebenarnya. Ia sendiri bingung, kenapa memilih nama itu sebagai panggilan di dunia maya. Namun, sekarang lebih aneh lagi. Kok, ada yang meneriakkannya? Vergis tak habis pikir.
“Bocah Koplak!”
Panggilan itu kembali terdengar. Lebih keras.
Vergis berhenti. Penasaran mematuknya. Vergis menoleh ke sumber suara.
Ada tiga bayangan, enam meter di kiri jalan: dua sedang berjongkok dan satu berdiri. Titik-titik merah menyala di sekitar jemari mereka. Bayangan yang berdiri itu lalu membesar dengan cepat.
Vergis mengerjap; hanya warna putih gigi dari bayangan itu yang jelas.
“Heh, lo Bocah Koplak, kan?” seru bayangan itu.
Gemeresik dan langkah kaki terdengar. Bayangan hitam itu menjejakkan kaki di tanah. Jadi, jelas bukan genderuwo. Kemungkinan seorang pria.
Vergis membesarkan matanya, mencoba menembus keremangan malam.
Pria itu mengenakan kaus hitam bergambar tengkorak yang sedang membuka mulut. Dalam keremangan malam gambar tengkorak berwarna putih dengan rongga mata berwarna merah di kaus pria itu terlihat menyala dan menakutkan.
Siapa yang tahu nickname-ku? Vergis melangkah mundur.
“Tunggu, Bro!” kata pria itu saat telah berada beberapa langkah dari Vergis.
Vergis membuang rokoknya; puntung menghantam aspal, bara api memercik. Vergis menginjak puntung itu, lalu mendongak.
“Siapa?” tanya Vergis sambil mengernyit. Mungkinkah salah seorang anggota di ruang chatting?
Mendadak perut Vergis terasa nyeri; ulu hatinya seperti akan pecah. Vergis terbatuk. Refleks, ia melangkah mundur sambil memegangi perut. Ada apa? pikirnya.
Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya. Vergis menatap lelaki itu, mencari jawaban, tetapi justru menemukan sebuah tinju. Tinju itu sedang memelesat ke wajah Vergis tanpa aba-aba.
Refleks, Vergis mengangkat tangan kiri, melindungi kepala, lalu memiringkan tubuh. Tinju itu menghantam lengan kiri Vergis.
Vergis menganyunkan lengan kanannya ke depan, gerakan yang telah ia latih bertahun-tahun.
Suara pekikan terdengar. Seperti parang membacok kayu, pukulan Vergis menghantam leher si Kaus Hitam. Dari balik lengan kiri yang melindungi wajah, Vergis mengitip. Si Kaus Hitam sempoyongan. Vergis segera maju, lalu mendorong.
Plak!
Seberkas cahaya putih tiba-tiba menutupi pandangan Vergis. Pipinya nyeri. Tak Vergis duga, sebuah tamparan menghantamnya. Topi Vergis terlempar.
Vergis merunduk, mengangkat tangan lebih tinggi, dan melihat si Kaus Hitam hampir terjatuh. Si Kaus Hitam hanya bertumpu pada satu kaki.