AYA
JAJANAN SURYAKENCANA
Danu menarik tangan Emak kemudian berjalan cepat menyusuri pertokoan, sebelah tangannya menutupi mulut dan hidung. Aku berada di belakang mereka dengan setelan blus biru muda dan celana bahan berjalan agak cepat mengejar langkah mereka.
“Danu, berhenti!”
Melambaikan tangan di udara memintanya berhenti, rasanya terlalu lelah untuk berjalan cepat dengan gembolan di kedua tangan. Aku kasihan pada Emak, sebelah tangannya berusaha mengenggam erat kantung-kantung belanja sementara satu tangannya lagi diapit Danu begitu kencang dengan langkahnya terseret-seret mengikuti langkah kaki Danu.
Akhirnya Emak menyadari ketidak sanggupannya, dipaksanya Danu berhenti dengan menarik kuat tangannya dan menghentikan langkahnya.
“Emak capek, Danu!”
Badan Danu sedikit terdorong ke belakang akibat tarikan tangan Emak yang berhenti mendadak.
“Sudah enggak bau, kok.”
Sambil mengatur napas Emak menyuruh Danu melepaskan tangannya dan memintanya menunggu aku.
“Teteh Aya ketinggalan, tuh.”
Aku bergegas mendekati mereka, menepuk pundak Danu menyuruhnya membawakan belanjaan di tangan Emak, kasian napasnya masih belum stabil tapi kami harus segera berjalan kembali.
“Mak kita harus membeli pesanan Ayah, Sate Cungkring dan Bir Kotjok di Suryakencana. Lumayan jauh dari sini, mau naik angkot apa jalan saja?”
Emak memandang aku bergantian memandangi Danu dengan napasnya yang masih belum teratur, aku paham maksudnya hanya dengan melihat air mukanya.
“Oke, kita naik angkot saja. Nanti pulangnya baru jalan ya, Danu mau naik Delman nggak?”
Dengan sumringah Danu membentuk garis bibir ke atas memberi isyarat setuju dengan penawaranku.
“Tapi kita beli pesanan Ayah dulu ya, harus sabar nggak boleh kayak tadi kasian Emak jadi kecapaian tuh.”
Danu mengangguk setuju, perlahan dia mendekati Emak lalu mengusap lembut tangan wanita paruh baya yang rambut hitamnya kini dihiasi helaian rambut putih. Ia menjadi ibu untuk kami sejak Ibu meninggal.
“Emmaakk … mmaaaappp Danu ya …”
Emak tersenyum kecil, mengusap pipi Danu, disaat bersamaan angkot 02 jurusan Sukasari melaju pelan ke arah kami. Lekas aku melambaikan tangan meminta angkot berhenti, tanpa berlama-lama aku menyuruh Danu dan Emak naik.
Dulu di jalan Suryakencana ada toko roti Singapore Bakery, Ibu dan Ayah sering membawa aku ke sana. Ada Puding Merah Putih yang atasnya diberi buah leci kalengan, kata Ayah puding itu terbuat dari agar-agar dicampur kental manis untuk bagian putihnya dan bagian merah diberi minuman soda yang warna merah agar segar.
Perpaduan rasa yang sangat pas, rasa manis jambu dari kental manis dan rasa segar dari minuman soda ditambah buah leci cocok sekali disantap saat udara panas seperti ini. Di Suryakencana banyak jajanan yang biasa kami beli. Ada Soto Kuning Pak Yusup, Combro Atmajaya, Ketan Bakar Gang Aut, Asinan Jagung Bakar, martabak manis, dan masih banyak lagi.
Saat ini pukul sepuluh lebih lima menit jarum jam di tanganku menunjukan hari menjelang siang. Tidak terasa kami sudah satu jam lebih mengelilingi Pasar Bogor membeli kebutuhan rumah dan beberapa rempah pesanan Ayah.
“Mang stop!”
Refleks aku teriak ketika angkot memasuki jalan Suryakencana tempat Cungkring Pak Jumat, bergegas kami turun. Setelah membayar ongkos angkot dan memeriksa kantung belanjaan tidak ada yang tertinggal dengan cepat menuju angkringan yang ramai dengan antrian pembeli Cungkring, beli pesanan Ayah dulu baru nanti beli jajanan lainnya.
Cungkring Pak Jumat termasuk kuliner legendaris di Bogor, kata Ayah dulu dijajakannya dengan cara berkeliling memanggul dagangannya oleh Pak Jumat. Tapi sekarang yang jualan bukan Pak Jumat lagi tapi sudah digantikan oleh Kang Deden anaknya, meski begitu yang beli tetap harus antri seperti sekarang harus sabar menunggu giliran.
Aku berdoa dalam hati semoga masih kebagian, selain untuk Ayah tentunya aku, Danu, dan Emak juga ingin kebagian. Rugi dong sudah jauh-jauh ke sini hanya beli untuk Ayah saja. Duh antriannya lumayan panjang, mataku menghitung jumlah orang yang berdiri di depan. Masih lima orang lagi, sejenak memperhatikan Kang Deden yang sibuk melayani berharap ia melihat ke arah kami berdiri. Namun, harapanku tak terwujud Kang Deden sangat fokus dengan pekerjaannya.
Kang Deden sedang memotong lontong jadi potongan kecil ditempatkan dalam pincuk daun, kemudian ditambah potongan cungkring disiram bumbu kacang, membungkusnya dan memberikan pada Ibu berbaju kuning, antrian berkurang satu.
Cungkring Pak Jumat terbuat dari potongan kikil kaki sapi yang direbus hingga empuk lalu diolah dengan bumbu rempah yang lezat, disantap dengan lontong disiram bumbu kacang kental, rasanya gurih, asin, sangat nikmat sekali. Apalagi ditambah taburan keripik tempe yang renyah. Melihat Kang Deden dengan cekatan membungkus pesanan pembeli saja sudah membuat aku menelan ludah apalagi menikmatinya.
Danu asyik dengan pelanggan lelaki yang ada di depan kami, entah apa yang mereka kerjakan, selama Danu aman aku membiarkannya. Tiba-tiba lelaki itu membalikkan badannya setelah Danu menunjuk aku dan Emak. Kini mereka saling berhadap-hadapan, asyik bercanda, beberapa kali melihat Danu tertawa lepas.