AYA
Tadi pagi Ayah minta dibuatkan Soto Kuning Bogor untuk makan siang, kadang aku heran kenapa sih nggak sekalian makan saja di resto, toh menu di sana banyak. Ayah tinggal pilih masakan apa yang dia mau. Hampir setiap hari aku harus masak menu yang diinginkan oleh Ayah.
Sebagai pemilik retoran Masakan Khas Bogor sekaligus Chef yang terkenal di kota hujan ini harusnya Ayah bisa memasak sendiri sekaligus masak untuk kami anak-anaknya bukan sebaliknya.
“Ingat soto kuning daging tambah jeroan. Ulah daging hungkul siga minggu kamari!”
(ulah=jangan; siga=seperti; Kamari=kemarin)
Aku ngoceh sambil mengacungkan telunjuk ke hidung sendiri meniru gaya Ayah tadi pagi sebelum ia pergi ke resto. Kadang aku berpikir, apa tidak bisa Ayah berkata lembut pada kami, anak-anaknya.
“Pagi-pagi udah ngomel. Bisanya nyuruh-nyuruh, marah-marah, bentak-bentak saja! Seandainya bukan Ayahku sudah aku cincang dijadikan perkedel!”
Sungutku kesal sambil membuka kulkas melongokan kepala mencari keberadaan bumbu-bumbu masak yang biasa aku stok. Ketemu ... gumamku dalam hati, mengulurkan tangan kanan untuk mengambil bumbu soto kuning dari dalam kulkas. Untung saja stok bumbu masih banyak jadi tinggal nyemplungin daging dan jeroan bersama bumbu kasih santan, tes rasa beres deh. Aku terus berbicara sendiri dalam hati tanpa menghiraukan sekitar. Tiba-tiba…
“Kenapa anak gadis di dapur ngome-ngomel kitu sih?”
Tanpa disadari Emak sudah bergabung di dapur memperhatikan kegiatanku rupanya, tersenyum kecil menanggapi pertanyaannya. Tak perlu diceritakan toh Emak juga sudah hapal apa yang menjadi penyebabnya. Tidak lain dan tak bukan pastinya Chef Dadang Gozali yang membuat aku sering ngomel dan ngoceh sendiri di dapur, Emak sangat paham bagaimana kondisi keluarga kami.
“Banyakin istigfar kalau kesal, ulah seeur teuing ngomel teu puguh atuh. Komo di dapur, Aya.”
(ulah seeur teuing=jangan kebanyakan; teu puguh=tidak pasti; komo=apalagi)
“Jangan kebanyakan ceramah atuh Mak, mending bantuin Aya masak soto kuning pesanan Juragan Dadang aja, yuks.”
Dari pada kuping ini harus mendengar nyanyian panjang dari Sabang sampai Merauke dari Emak mendingan aku manfaatkan tenaganya untuk membantu masak. Emak tersenyum, ia paham kalau aku sedang tidak ingin mendengar nasihat darinya saat ini.
Aku mengambil panci dan menuangkan air lalu menaruhnya di atas kompor, memasukan daging dan jeroan yang sudah dibersihkan tapi masih dalam potongan-potongan besar. Menyendok bumbu halus lalu memasukannya dalam panci, kemudian memasukan salam, sereh, lengkuas dan rempah-rempah lainnya ke dalam panci yang airnya sudah mulai terlihat gelembung-gelembung.
Sambil menunggu daging dan jeroan empuk, Emak mengupas wortel lalu menyuruhku memotongnya kecil-kecil. Emak mengambil timun dan memotongnya kecil-kecil sama seperti potongan wortel. Dalam mangkuk ukuran sedang aku mencampur potongan wortel dan timun dengan gula, garam dan cuka lalu diberi sedikit air. Selesai mengaduk, meneteskan sedikit air acar ke tangan kemudian menjilatnya. Indera perasaku mengatakan sedikit kurang garam dan gula.
“Terlalu asam.”