AYA
TOGE GORENG PAK KOSIM
BAGIAN 2
Sambil membereskan piring-piring yang sudah kosong di meja – karena isinya sudah berpindah tempat ke perut kami sekeluarga. Pak Kosim kembali bercerita mengenai sejarah Toge Goreng.
“Teraskeun deui ya caritana, tadi dugi kamana?”
(teraskeun=lanjutkan; dugi kamana=sampai dimana)
“Toge Goreng baheula dikenal Toge Mie,” timpalku. Entah kenapa begitu antusias mendengar cerita lanjutannya. Terdengar sangat menarik tentang sejarah Toge Goreng, seperti ada yang spesial tapi tidak tahu apa.
(baheula=dahulu)
Tuk … tuk … tuk …
Danu mulai mengetuk-ngetuk meja kemudian berdiri, sangat terlihat ia sudah tidak betah. Menarik tangan Emak, Danu menunjuk ke tempat mobil kami di parkir.
“Pak … ?” tanya Emak sambil menunjuk ke tempat mobil sama seperti yang tadi dilakukan Danu, meminta persetujuaan dari Ayah.
Ayah mengijinkan karena tidak ingin anaknya itu membuat ulah. Emak mengangguk lalu mengajak Danu pergi ke mobil mengambil peralatan melukisnya. Ayah juga membiarkan Danu dan Emak masuk ke halaman kampus IPB, mereka duduk di hamparan rumput.
Dari jauh aku melihat kepala Danu menengok ke kiri untuk beberapa saat lalu ke kanan, seolah mencari objek yang akan dia gambar. Kemudian ia membuka buku gambar lalu mengambil pinsil. Untuk sesaat ia termenung lalu tangannya mulai asyik bergerak ke sana kemari di atas kertas gambar, sepertinya ia sedang menggambar sesuatu.
Selesai membereskan piring dan lainnya, Pak Kosim duduk di sebelah Ayah. Ia mulai melanjutkan ceritanya.
“Oh enya, Toge Mie. Menurut pemerhati sejarah Tionghoa Bogor Mardi Liem, perjalanan Toge Goreng menjadi kuliner khas Bogor sampai ganti nama ti asalna. Ti penelusuran literaturna Toge Goreng lahir akibat pergaulan etnis Tionghoa dengan bangsa Eropa.”