SATE TAMAN KENCANA BERSANDING DENGAN KUE APE
Hatta dan Aya semakin dekat sejak kedatangan Hatta memberikan semangat saat pertandingan babak penyisihan di Botani square, mereka jadi lebih sering berkomunikasi. Hanya sekedar obrolan singkat ‘lagi apa’ ‘udah makan belum’ atau ‘jangan lupa makan ya’ ‘met bobo’ dan ratusan kata gombal yang menjadi santapan harian pasangan muda-mudi yang sedang kasmaran.
Yang membuat hati Aya luluh karena Hatta mau menerima Danu, tidak merasa risih atau merendahkannya. Hatta menganggap Danu teman, ia tidak malu bermain bersama Danu, ia tidak keberatan jika mengajak pergi Aya, Danu dan Emak ikut bersama mereka. Betul kata Emak, Hatta adalah pemuda yang baik.
“Jadi kita mau makan di mana?”
“Hhaattaa … Ddaanu mmau … saattee!”
“Oke!”
Hatta membelokkan stir mobil ke tempat Sate Taman Kencana, padahal sebelumnya tujuan mereka adalah Bakso Seseupan di Perumnas Bantarjati. Danu menolak makan bakso, jadilah mobil yang sudah melewati lampu merah menuju Perumnas diputar balik arahnya.
“Maaf ya, Hatta. Ngke deui mah ulah ngajakan Danu atuh mun bade makan bakso. Da manehna kurang resep kana bakso,” celoteh Emak dari kursi belakang. Ia merasa tidak enak Danu merusak acara Aya dan Hatta.
(ngke deui=nanti lagi; ulah ngajakan=jangan mengajak; mun=kalau; kurang resep=tidak begitu suka)
“Tenang, Mak. Pan Hatta tos apal Danu siga kumaha,” ujar Hatta, tetap fokus menyetir. Mobil memasuki jalan Pangrango, tempat aneka kuliner yang menjadi favorit di Bogor.
(tos apal=sudah tahu; siga kumaha=seperti apa)
Kedai Kita dengan pizza kayu bakarnya, di seberangnya ada Pia Apple Pie dengan aneka isian pie – ada yang manis dan gurih asin.
“Hatta, nanti habis makan sate beli kue Ape dulu ya. Boleh nggak?” tanya Aya, ia tiba-tiba terbayang kue Ape saat melintasi kawasan kuliner Taman Kencana.
“Pasti boleh dong, apa sih yang nggak buat Aya. Ya, nggak, Danu?”
Danu yang duduk sebelah Hatta bertepuk tangan, Hatta mengangkat telapak tangannya kemudian Danu menyambut tangan Hatta memberi satu tepakan.
“Ttooss … Haattaa Ddaannuu … “
Danu tepuk tangan lagi, melongokkan kepalanya kebelakang mencari keberadaan Aya, tersenyum sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. Emak ikut tertawa melihat tingkah Danu dan Hatta.
“Emak … “
Wajah Aya sedikit semu merah, hatinya merasa bahagia. Kini ia tidak hanya memilikiDanu dan Emak tapi ada Hatta yang mengisi hatinya.
Laju mobil diperlambat saat memasuki lokasi parkir. Dengan mulus Hatta memarkir mobil tepat di depan warung sate, ia mengajak semuanya turun. “Sudah sampai, mari kita makan sate.”
Danu melepas seat belt-nya lalu turun menyusul Hatta yang sudah lebih dulu turun. Aya dan Emak mengekor dibelakangnya. Sate Madura Haji Ismail dikenal dengan nama Sate Taman Kencana, berada di kawasan Taman Kencana sudah ada sejak Aya kecil, berada di sisi barat taman. Persisnya sederetan dengan Warung Taman, buka dari setengah sepuluh pagi hingga sembilan malam. Meski tempatnya sederhana tapi yang beli selalu ramai, ada kabar yang mengatakan Sate Abah sudah jadi langganan Istana Bogor karena kelezatannya.
Untung saja tadi Hatta turun duluan mencari meja kosong untuk mereka, kalau tidak mereka harus sedikit bersabar menunggu seperti satu keluarga yang baru turun dari mobil Avanza Silver.
“Sate ayam lontong 3 porsi. Hatta mau sate ayam apa kambing?” tanya Aya, karena ia masih belum hapal kapan Hatta ingin makan sate kambing atau sate ayam. Padahal mereka sudah sering makan bersama di warung sate itu.