AYA
PULANG KE RUMAH
Aku celingukkan mencari tanda-tanda kehidupan yang tidak tampak di ruang tamu. Harusnya jadwal Danu bersama Wulan, tapi mereka tidak ada. Aku mengendap-endap masuk ke ruang keluarga dan berjalan menuju dapur karena mencium aroma kopi yang terbanjur air panas.
Di dapur, melihat Danu asyik memainkan pinsilnya di atas buku gambar bersama Wulan di sebelahnya. Emak sedang menuang air panas ke dalam cangkir, ada kepulan asap dari cangkir satunya yang menguar aroma kopi. Itu menandakan penciumanku masih normal dan sangat sempurna.
“Assalamu`alaikum!” pekikku, mengejutkan mereka.
“Waalaimussalam … “
Danu yang pertama menjawab ucapan salamku, diikuti oleh Emak dan Wulan.
“Aayyaa … !!!” jerit Danu melihat keberadaanku. Ia bergegas menghampiri dan memelukku erat.
“Aya kangen Danu. Kalau Danu kangen sama Aya, nggak?”
Danu mengangguk, mengintip sebentar memperlihatkan gigi-giginya sebentar kembali memeluk dengan sangat erat. Lima hari aku pergi, pasti saja Danu kangen.
Emak berjalan pelan, setelah dekat ia mengusap lembut pipiku. “Kumaha, Aya sehat?”
(kumaha=bagaimana)
“Emak ningalina kumaha?”
(ningalina-melihatnya)
Emak tersenyum melihat aku dalam keadaan baik-baik saja. Wulan menyalamiku lalu kembali duduk, “Gimana tour-nya, menyenangkan?”
Aku mengangguk-anggukan kepala, memainkan mata dan alis, tersenyum kecil. Menarik celana kulot yang kupakai memperlihatkan pergelangan kaki yang masih menyisakan warna ungu tua, meski sudah tidak bengkak tapi kadang masih agak terasa nyeri.
“Ya Allah, Aya! Eta kunaon kakina?!”
(eta kunaon=itu kenapa)
Emak histeris melihat keadaan kakiku. “Teu nanaon, Mak. Cuma keseleo aja, udah sembuh tinggal sesana.”
(teu nanaon=tidak apa-apa; sesana=sisanya)