AYA
DIARY IBU (1)
Rasa lelah menggelayut, menggerogoti rongga dada membuat terasa sesak. Napasku berat karena kecamuk dalam otak. Malam terasa begitu panjang dan hening, meski memaksa memejamkan mata tapi jiwa tetap terjaga tak mau bekerjasama.
Siapa yang menaruh belatung-belatung itu di mangkuk kacang hijau? Apa ada yang menukarnya dan memasukkanya dalam tasku? Surat ancaman itu, sekedar main-main atau benar menyuruhku mundur dari kompetisi masak? Apa yang akan terjadi jika aku tetap melanjutkan kompetisi masak? Ah, begitu banyak tanya berkeliaran dalam kepala.
Merebahkan badan, jari jemariku memainkan ponsel. Dengan teliti mataku mengecek adakah pesan yang masuk darinya, dari deretan pesan masuk tapi namanya tak muncul, harapanku sia-sia. Apa pertengkaran kami menjadi akhir dari hubungan yang belum ada ikatan apa pun? Sebegitu marahnya kah dia sehingga tidak mau membalas pesan yang aku kirim? Tidak mau mengangkat telponku?
Kenapa di saat kau sudah menorehkan rasa dan harapan di hatiku, kini kau menghilang begitu saja. Apa rasa dan ikatan diantara kita meski baru sesaat, harus dilupakan begitu saja? Apa ini yang namanya jatuh cinta? Kenapa tiba-tiba ada rindu ingin bertemu dengannya tapi tak bisa. Ada sakit yang menghujam di hati, tapi aku tak bisa mengobatinya.
Menghela napas, mengharap sesuatu yang tak mungkin. Andai Ibu ada bersamaku, ingin rasanya bercerita mencurahkan semua isi hati ini padanya. Membolak-balikkan badan, masih saja tak bisa tidur. Mendengus pelan, aku bangun dari pembaringan. Kedua bola mata berkeliling menatap langit kamar berakhir di lemari bajuku, teringat diary Ibu. Aku berdiri melangkahkan kaki mendekati lemari baju. Tanganku menarik diary Ibu di bawah tahapan baju paling atas, kemudian duduk di sisi ranjang.
Beringsut ke tengah kasur, menarik bantal untuk dijadikan penyangga tubuh. Membuka halaman pertama buku diary Ibu. Tulisan nama Ibu yang sudah pernah kulihat masih sama, terukir indah di halaman itu, aku membaca tulisan Ibu di halaman berikutnya.