HATTA
PESAN ANCAMAN
Brakk …
Suara bantingan dari map yang gue lempar ke meja membuat Jejen melotot, tangannya memegangi head phone besar di kepalanya. Gue mengintip video yang sedang di tonton Jejen dari ponselnya.
“Sorry, lagi kesel gue!”
Duduk di meja kerja gue sambil menopang dagu dengan kedua tangan, mengingat percakapan terakhir gue dengan Aya. Gara-gara mendengar suara lelaki lain bersamanya, pertengkaran pertama kami tak terelakkan. Wajar dong, kalau gue cemburu dan emang gue berhak untuk itu. Emang sih, gue ama Aya belum resmi pacaran, tapi kan gue berhak untuk cemburu karena ada lelaki lain bersamanya.
Ego gue sebagai seorang laki-laki meningkat saat rasa takut itu datang menghantui. Rasa takut kehilangan wanita yang dicintai diambil lelaki lain. Sial, kenapa ponsel mesti hilang. Semoga Aya tidak berkelanjutan marah dengan pertengkaran kami tempo hari.
Gejolak rindu di dada bagaikan gulungan ombak yang semakin tinggi, ingin sekali bertemu dengannya. Tumpukan berkas membuat gue selama satu minggu ini berkencan dengan komputer kantor bersama polisi lainnya yang dipaksa lembur untuk menyelesaikan tugas.
Apa kabarnya Danu dan Emak ya? Kalau calon mertua gue yang ganas itu rasanya tidak perlu dirindukan, membayangkannya saja sudah malas. Senyum-senyum sendiri membayangkan Ayah Aya dengan suara beratnya, menyapa gue. Semoga calon Ayah mertua selalu dalam keadaaan sehat, doaku dalam hati.
“Jen, Pak Kom atos pulang, acan?” tanyaku, Jejen masih asyik dengan ponselnya sambil mencatat sesuatu di kertas.
(atos pulang acan=sudah pulang apa belum)
Meremas kertas dan melemparkannya pada Jejen, “Pak Kom, masih di ruangannya?”
“Udah pulang tadi, katanya mau ada acara keluarga. Maneh teu diajakan pulang? Pan dia Mamang, lo.”
(maneh=kamu; teu diajakan=tidak diajak)
“Henteu, urang teu diajakan. Meureun dari keluarga ti Bi Tati,” ucap gue, “gue balik duluan, Jen. Mau ke rumah calon jodoh, bisi neangan urang, pan hp urang leungit.”
(henteu=tidak; urang=saya; meureun=mungkin; bisi=barang kalai; neangan=mencari; leungit=hilang)
“Ah, maneh calon jodoh wae. Iraha atuh sebar undangan?”
(ah maneh=kamu ini; iraha=kapan)
Ledekkan Jejen tak dihiraukan, pokoknya sore ini gue mesti ke rumah Aya. Ada rasa rindu membuncah yang tak tertahankan di dada ini. Lekas membereskan berkas-berkas di meja, mengambil kunci motor dari laci meja, bergegas ke parkiran.
Tik … tik … tik …
Menengadahkan tangan ke langit, titik air membasahi tangan. “Ya, gerimis,” bisikku pelan, awan putih bergerak digantikan awan hitam, langit cerah berangsur gelap. Buru-buru gue pakai helm dan menyalakan mesin motor.
Brem … brem … brem …
Melaju dengan kencang menembus angin, menyisakan kepulan asap di jalanan. Gue pacu kencang motor menuju rumah Aya. Memasuki jalan Pangrango, titik hujan semakin deras. Cuaca sedang tidak mau bersahabat, tepat di tikungan menuju rumah Aya tumpahan air langit membuat gue mandi seketika.
Ting … tong …