AYA
SIASAT RIYU DAN WULAN (2)
Drrtt … drrtt … drrtt …
Ponsel bergetar di dalam saku baju, aku mengesat keringat di dahi setelahnya menarik keluar ponsel dan melihat pesan yang baru saja masuk.
MUNDUR DARI KOMPETISI MASAK
JIKA KAMU MASIH SAYANG PADA MEREKA
Aku tercekat melihat foto Emak dan Danu. Mereka sedang dalam antrian panjang ada banyak orang di sekitar mereka, foto itu dikirim bersamaan dengan pesan ancaman. Ya Tuhan, lekas melempar pandangan mata ke seberang gerai mencari keberadaan Emak dan Danu. Tenaga terkuras sejak pagi, otakku sudah tidak bisa berpikir dengan jernih.
“Riyu, lihat Emak dan Danu?!”
Riyu menggeleng, tanpa menghiraukan perkataannya aku segera meninggalkan gerai laksa. Kembali melihat ponsel, memastikan tempat foto itu diambil. Aku mengenali tendanya, itu adalah gerai permainan kesundaan.
Hawa dingin tiba-tiba merasuk dalam kalbu, napas memburu seiring langkah menuju ke gerai permainan kesundaan. Pikiran buruk yang menimpa Emak dan Danu semakin menjadi-jadi. Aku celingukan merangsek kerumunan orang-orang yang menyaksikan permainan Sondah – engklek – dan Congklak.
Mataku mulai berkabut, napas turun naik tidak menentu. Detak jantungku berdebar lebih kencang, aliran darah bertambah deras. Ingin berteriak memanggil Emak dan Danu, tapi mulut terkunci, tenggorokkanku kering. Di keramaian itu tidak tampak wajah mereka, mataku terus berkeliling mencari, sementara kaki ini diam membeku.
“Aya … “
Tepakan tangan di pundak dan teguran seseorang membuatku tersentak, Hatta berdiri di hadapanku. Tangannya dilambai-lambaikan depan mataku, pikiranku masih berkelana, membayangkan apa yang terjadi pada Emak dan Danu.
“Aya,” tegur Hatta lagi.
“Aya kenapa? Dari tadi celingukkan, cari saha?”
(saha=siapa)
Aku tidak menjawab, hanya menatap sayu pada Hatta. Kemudian membuka pesan di ponsel dan menunjukannya. “Ini yang ketiga, Hatta,” ujarku, menelan ludah membasahi tenggorakkan. Mataku kembali berkabut, memikirkan Emak dan Danu yang entah di mana.
“Emak sama Danu diculik?” tanya Hatta, aku menggeleng. Bulir bening perlahan turun dari ujung mata.
“Janga kuatir, mereka akan baik-baik saja.”
Aku menundukan wajah, berjongkok menutup muka dengan kedua tangan. Pikiranku benar-benar lelah, batinku berteriak Emak, Danu di mana kalian? Apa kalian baik-baik saja?
Hatta menempelkan tangannya di bahuku, kemudian membopongku berdiri, “Hatta janji, akan menemukan mereka.”
Aku mencengkeram baju Hatta, menatap matanya. “Aya takut, Hatta!” pekikku, pelan. “Takut terjadi hal buruk pada Emak dan Danu,” keluhku, mendaratkan kepala di dada Hatta. Menumpahkan genangang air yang membasahi bajunya.
Hatta mengusap lembut kepalaku, membisikkan kata untuk menenangkan, “Emak dan Danu akan baik-baik saja.”