KEMARAHAN AYAH, KETAKUTAN AYA
Aya masih meringkuk di kasur, badannya masih belum mau diajak kerja bakti melakukan pekerjaan harian seperti biasanya. Di dalam selimutnya, Aya kembali membayangkan kebersamaannya dengan Hatta kemarin sore.
Memejamkan mata, Aya membayangkan kemesraanya bersama Hatta. Senyum bahagia terukir di wajahnya, memeluk guling seolah ia memeluk erat Hatta di atas motor yang melaju kencang diguyur derasnya hujan, basah kuyup yang melahirkan keromantisan untuk mereka berdua.
Meski demam dan bersin-bersin menjadi oleh-oleh untuknya, Aya tetap merasa bahagia. Meski kehujanan, ditambah kelelahan batin dan pikiran sangat berdampak buruk untuk kesehatannya saat ini, Aya tetap merasakan semburan aura cinta yang dikirim Hatta telah menjadi penyemangatnya.
Sudah seperti orang yang kurang selapis otaknya, Aya bersembunyi dibalik selimut senyam-senyum sendiri. Pipinya bersemu merah, menggambarkan isi hatinya yang sedang dihujani panah asmara dari Hatta.
Tok … tok … tok …
Ketukan pintu kamarnya, membuat Aya menyembulkan kepala dari selimut. “Masuk,” ujar Aya. Masih enggan keluar dari dalam selimutnya.
Perlahan pintu kamar terbuka, Emak tampak repot dengan nampan di tangannya. Ia menyunggingkan senyum berjalan ke meja menaruh nampan yang dibawanya, kemudian mendekati Aya.
“Masih demam?” tanya Emak, tangannya menyentuh dahi Aya.
Aya menggeleng pelan, “Tinggal melerna, Mak.”
Hacih … !
Hacih … !
Berkali-kali Aya bersin, cairan bening menetes dari hidungnya. Dengan cepat Aya mengesatnya.
Sroott … shroot …
Aya berusaha mengeluarkan ingus agar hidungnya nyaman. Emak memperhatikan sambil mengomel, “Eta sih, kamari huhujanan. Kunaon atuh, nggak neduh heula. Tunggu hujan reda baru pulang.”
(eta sih=itu sih; kamari=kemarin; huhujanan=main hujan; kunaon=kenapa; heula=dulu)
Aya tersenyum nakal, “Emak nggak tahu sih, hujan bawa berkah.” Ia mengesat cairan bening yang menetes lagi dari hidungnya, kembali membayangkan kenangannya bersama Hatta.
Emak mengambil mangkuk bubur, duduk dekat Aya. “Sok, makan buburna. Biar perutna keisi.” Menyodorkannya pada Aya.
Aya menarik badannya ke posisi duduk, bagian kakinya masih ada dalam balutan selimut. Dengan ganjalan bantal di punggungnya, Aya menerima mangkuk dari Emak. Pelan-pelan ia mulai mengisi perut dengan bubur kaldu ayam buatan Emak.
Sendok demi sendok bubur dari mangkuk berpindah ke perut Aya, mungkin karena perutnya lapar, tidak butuh waktu lama mangkuk di tangannya sudah kosong. Ditutup dengan segelas teh panas, hangatnya menyebar ke dalam tubuh, membuat badan Aya mulai terasa bertenaga dan segar.