HATTA
PROBLEMATIS
Kenapa harus Ayahnya Aya? Harusnya dari awal gue nggak usah mendekatinya, tapi kan gue nggak tahu, kalau sudah begini bikin bingung. Ah, sh*** kepala gue jadi pusing. Kenapa Apa baru cerita masa lalunya sih, kalau dari awal gue tahu kan nggak mungkin ngedeketin Aya.
Untung di kantor nggak ada kasus yang bikin tambah rumit otak, mikirin satu perkara ini saja otak gue dibikin ngebul. Apalagi ditambah kasus-kasus lainnya, bisa-bisa otak gue kena stroke mendadak.
Arrgghhh ….
Mengacak-ngacak rambut, mencoba menjernihkan pikiran. Sayangnya usaha gue tak sesuai harapan, malah tambah rumit dan mumet. Urusan hati dan urusan orang tua, mana yang harus gue utamakan? Bingung mana yang harus dikalahkan, mana yang harus jadi prioritas. Pastinya akan ada yang tersakiti, dan gue nggak mau nyakitin Aya, apalagi kalau sampai nyakitin Apa bisa durhaka. Gue cinta sama Aya, tapi kenapa mesti Ayahnya Aya?!
Tuk … tuk … tuk …
Suara ketukan pulpen ke meja membawa isi otak mundur ke tujuh hari lalu, ketika gue dan Apa melakukan rutinitas mingguan. Obrolan santai antara bapak dan anak tiap akhir pekan, itu akan terjadi kalau gue nggak ada tugas dadakan dan nggak ada tumpukan berkas di meja.
Karena sudah beberapa kali absen dan alasan gue bukan karena urusan pekerjaan melainkan ngapel ke rumah Aya, makanya Apa minta hak mingguannya. “Hatta, lamun Apa perhatikan ari kamu gonta-ganti pacar mulu. Emang nggak ada kitu, yang bikin hati kamu tersangkut selamana kayak Apa ke Mimih?” tanya Apa, matanya mengawasi ekspresi di wajah gue.
(lamun=kalau)
“Ada sih, tapi masih pedekate. Semoga anu ayeuna bakal jadi calon jodohna Hatta, doakan saja.”
(anu ayeuna=yang sekarang)
“Bawa atuh kerumah, kalau memang kamu sudah mantap. Diseriusin, inget umur.”
“Ah, ari lalaki mah gampang, Apa. Bade nikah umur sabaraha oge, pasti laku lah,” oceh gue, mencoba menghibur diri sendiri yang masih jadi bujang lapuk.
(lalaki=laki-laki; bade=mau; umur sabaraha oge=umur berapa pun)
Apa tersenyum sambil menggoyang-goyangkan kepala dan memainkan jenggotnya mendengar pembelaan gue. Ini yang bikin kuatir, dari senyumnya itu pasti bakal ada serangan balik buat gue.
“Bener sih, lalaki mah iraha wae nikah, masih laku. Emang Hatta bade nikah mun geus kolot pisan? Teu karunya ka Apa jeung Mimih? Hoyong ningali Hatta gaduh putra.”
(iraha wae=kapan saja; bade=mau; geus kolot=sudah tua; teu karunya=tidak kasihan; jeung=dan hoyong ningali=ingin melihat; gaduh putra=punya anak)
Nah, persis seperti dugaan gue. Apa pintar banget nembak dengan kata-kata. Pada akhirnya masalah cucu lagi. Padahal Apa dan Mimih sudah punya 5 orang cucu dari kedua kakak gue. Sebagai anak bungsu, masa iya tuntutannya masih cucu juga.
Slurp …
Menyeruput kopinya, Apa bertanya lagi, “Namina saha?”
(namina saha=namanya siapa)
“Calon jodoh, Hatta?” tanya gue, mencomot pisang goreng di piring dekat gelas kopi Apa.
“Ya iya, atuh. Emang jodohna saha deui, anak Apa jeung Mimih anu acan nikah kan cuma kamu, Hatta,” oceh Apa, ikut mencomot pisang goreng.