KECURIGAAN EMAK PADA WULAN
Emak memperhatikan Wulan yang sedang membantu Danu memberi warna pada gambarnya, di ruang tamu.
“Ganti warna lain saja, dari kemarin warnanya sama. Yang ini, mau?” wulan menyodorkan krayon warna oranye pada Danu.
Danu menggeleng cepat, jarinya menunjuk krayon warna emas. Spatula dengan warna emas menjadi favorit Danu dalam beberapa hari ini. Danu tidak bosan, setiap hari menggambar spatula emas mirip dengan hadiah utama dari kompetisi masak yang diikuti oleh Aya. Semua gambar spatula emas yang dibuat Danu, diberikan pada Aya. Gambar Danu yang menjadi salah satu penyemangat dan inspirasi buat Aya.
Betul, wajahnya memang mirip. Tapi apa mungkin dia? gumam Emak dalam hatinya. Bola mata Emak terus memperhatikan Wulan, dari ujung kepala hingga kaki.
Sejak Emak bertemu Wulan di klinik, ia ingin bertanya pada Wulan tapi diurungkan niatnya karena dokter Anna memintanya untuk tetap duduk dan mendengar penjelasannya. Padahal sudah hampir tiga bulan Wulan memberikan les privat pada Danu, Emak belum sempat bertanya langsung pada Wulan.
Hidung dan matanya sangat mirip, begitu juga dengan lekuk tubuhnya dilihat dari belakang benar-benar mirip. Apa mungkin benar dia adalah …
Tes … tes … tes …
Tetes demi tetes kopi membasahi lantai, Emak bermain-main dengan pikirannya sendiri, tanpa disadari cangkir di tangannya miring membuat isinya tumpah sedikit demi sedikit ke lantai.
“Mak, itu kopinya tumpah!” teriak Wulan, menunjuk ke lantai.
“Ya Allah, napa atuh Emak jadi bengong ngeliatin Wulan ama Danu,” tukas Emak, menarik beberapa lembar tisu di meja dan mengelap tumpahan kopi di lantai.
Wulan menghampiri Emak, “Emak, lagi ada yang dipikirkan?” ia bertanya sambil membantu Emak membersihkan lantai.
“Nggak tau, tadi Emak lagi perhatikan Wulan bantuin Danu. Eh teu sadar kopina tumpah. Untung, nggak kena karpet.”
“Mungkin Emak lelah. Istirahat saja, biar Wulan yang temani Danu sampai selesai.”
Wulan membawa tisu basah bekas melap tumpahan kopi dengan kedua tangannya, ia membuangnya di keranjang sampah dapur. Ruang tamu dan dapur adalah tempat yang dipilih Danu untuk belajar menggambar bersama Wulan, selain halaman belakang. Makanya Wulan sudah hapal dengan dua ruangan itu.
Di ruang tamu terdiri dari dua set kursi, satu set kursi rotan berada dekat pintu. Kursi rotan ini lebih terlihat resmi, karena memang biasanya tempat duduk untuk para tamu. Dan satu set sofa kulit warna coklat beralas karpet coklat muda dengan corak garis setrip, lebih terkesan santai di ruang tamu.
Sofa ini ada didekat lorong menuju ruang keluarga. Kerap kali Danu menggambar di meja kaca besar yang jadi pasangan sofa coklat. Kadang-kadang Danu tengkurap di karpet, atau di atas sofa panjang, suka-suka Danu dan tergantung mood-nya.
Ruang makan menyatu dengan dapur, terdapat satu set meja makan dengan enam kursi berada tidak jauh dari area kitchen set. Di meja makan itu, Danu menuangkan imajinasinya ke dalam buku gambar ditemani Wulan yang jadi pendampingnya.
Setelah mencuci tangan Wulan kembali ke ruang tamu, ia melihat Emak duduk termenung lagi. “Mak, napa?” tanya Wulan, mengusap pelan bahu Emak.
Emak tidak menjawab, ia malah memperhatikan dengan seksama wajah Wulan. “Duduk di sini,” pinta Emak pada Wulan.
Wulan menuruti permintaan Emak yang menarik tangannya agar segera duduk di dekatnya. “Umurna Wulan berapa?” tanya Emak dengan mimik wajah serius.
Wulan tersenyum kecil, bingung dengan pertanyaan Emak yang tiba-tiba menanyakan umurnya. Tapi tetap ia jawab, “Wulan umurnya sekarang, 23 tahun.”