AYA
DUKA KELUARGA DADANG GOZALI
Dulu, aku sempat kesal dan benci karena kemana-mana naik angkutan umum, padahal Ayah mampu membelikan mobil berikut supirnya untuk kami. Tapi sekarang ketika Ayah menyediakan mobil plus supir, malah membuatku menderita. Ayah tidak main-main dengan ultimatumnya, sudah seperti anak TK kemana-mana aku harus diantar supir. Mau pergi, harus ijin Ayah, ditanya pergi dengan siapa, mau apa.
Mendengus kesal, tidak sedikit pun ada celah untukku bertemu Hatta. Fokus pada kompetisi, menuruti keinginan Ayah. Untung saja ponselku tidak turut disita – tanganku mengusap-ngusap ponsel. Hanya ini satu-satunya harapan, untuk bisa mendengarkan suara Hatta.
Namun, sejak kejadian hari itu, Hatta sangat sulit dihubungi. Dia tidak menerima panggilan telepon dan pesan yang kukirim, pesan dariku hanya dibaca tapi tidak dijawab olehnya. Apa Hatta benar-benar takut dengan larangan Ayah mengenai hubungan kami? Hanya sebegitu sajakah perjuangannya untuk mendapatkan aku? Atau, jangan-jangan ada hal buruk terjadi pada dirinya? Berkecamuk tanya dalam hati, ada apa dengan Hatta?
“Aya, ari kamu mau masak apa? Eta, air di panci udah mau saat!” seru Emak, mematikan kompor.
(saat=kering, habis airnya)
Gelagapan, menatap Emak yang tiba-tiba ada di dapur. “Eh, air … lupa, Mak!”
“Ari kamu, dari tadi duduk sambil ngeliatain naon?” tanya Emak, ikut menatap langit dapur seperti yang aku lakukan sebelum Emak datang dan menegurku.
Menghempas napas, sampai detik ini pun belum juga ada balasan darinya. “Ini, Mak,” ujarku memperlihatkan pesan yang aku kirim pada Hatta.
“Atuh, ditelepon wae mun acan dibales mah.”
“Aya sudah berkali-kali telepon, Mak. Nggak diangkat sama Hatta.”
“Mungkin lagi sibuk di kantorna.”
“Iya, mungkin sibuk ya, Mak.”
Aku bangkit dari duduk menambah sisa air di panci, kembali menyalakan kompor, “Aya, mau masak mie goreng. Emak, mau?” tanyaku, sambil melangkah menuju rak piring di dekat kulkas. Kutatap, Emak lagi. Kepalanya menggeleng, tanganku mengambil satu piring beling dari lemari.
Saat aku memasukkan mie, air di panci sudah mendidih. Emak membawa sepiring kue bolu kukus di tangannya, “Emak, mau lihat Danu sama Wulan heula. Tadi belum dikasih cemilan.”
Aku mengangguk, kembali fokus memasak mie goreng dan telur rebus. Tidak lama kemudian Emak kembali ketika aku mengaduk mie dan bumbunya, menguar aroma mie. Menunggu telur rebus yang sebentar lagi matang, aku mendekatkan piring ke hidung, mencium aroma mie goreng yang menggoda.
Beberapa saat kemudian, sepiring mie goreng dengan telur rebus sudah siap disantap. Membawa piring dengan kedua tangan, aku berjalan menuju meja makan tempat Emak menikmati bolu kukusnya.
Prang …
Piring ditanganku tiba-tiba jatuh, telur rebusku menggelinding, mie goreng berantakkan ke lantai. Seketika tubuhku membeku, menatap mie goreng bercampur dengan serpihan-serpihan kaca yang tersebar di lantai.
Deg …
Kenapa hati ini merasa ada sesuatu yang janggal, perasaan aneh datang membuat hatiku tidak nyaman. “Mak, ada apa, ya?!” tanyaku, pada Emak.
“Ada piring jatuh, pan kamu yang jatuhin.”
Emak mencoba menghibur, dia tahu piring itu tiba-tiba lepas dari genggaman tanganku. Tepakkan tangan Emak menyeret kesadaranku, lekas menarik keranjang sampah. Aku berjongkok memunguti mie goreng yang sudah tercampur dengan serpihan-serpihan kaca.
Aww …
Serpihan kaca menancap di jari telunjuk, darah mengalir saat serpihan kaca itu aku cabut. Bukan karena rasa sakitnya aku terdiam, tapi perasaan tidak nyaman ini semakin kuat menyerangku.