AYA
CERITA PAK KOSIM
“Cahaya, saya juga pamit. Selama satu minggu ini ada beberapa polisi yang akan mengawasi rumahmu. Demi keselamatan kamu dan adikmu, karena kita belum tahu apa motif dari pembunuh. Saya minta kamu lebih berhati-hati, hubungi Hatta atau saya jika ada yang mencurigakan.”
Pak Rama memberikan kartu namanya sebelum pergi, Hatta lekas mendekatiku. “Nanti Hatta ke sini lagi,” ucapnya memegang tanganku.
Aku lepas pegangan tangan Hatta, bangkit dari duduk untuk mengucapkan terima kasih pada pamannya. “Terima kasih atas perhatian dan bantuan Pak Rama pada keluarga kami. Semoga kasus ini bisa segera terselesaikan, saya harap Ayah bisa dimakamkan besok, Pak.”
Aku tidak membalas tatapan mata Hatta, sudah cukup hati ini dibuat menderita dengan ketidak pastian darinya. Aku harus mulai melangkah, menentukan kehidupan aku dan Danu selanjutnya tanpa adanya Ayah.
Setelah kepergian Hatta dan pamannya, tersisa Pak Kosim, Pak Hakim, aku, dan Emak yang ada di ruang tamu. Sebetulnya aku ingin mereka juga pergi, tapi mimik wajah Pak Kosim dan Pak Hakim seolah menyiratkan mereka memang menunggu semua orang pergi untuk bercerita.
Untung Danu ditemani dokter Anna dan Wulan, kami bisa tenang menerima tamu yang mengucapkan belas sungkawa atas wafatnya Ayah. Dokter Anna memberikan terapi agar kondisi mental Danu tidak menurun dan bisa menerima kematian Ayah. Jangankan Danu, aku dan Emak saja masih belum percaya dengan semua ini. Ditambah kabar mengejutkan lainnya, penyebab kematian Ayah diracun seseorang yang memang sengaja ingin membunuhnya.
“Aya, ada yang ingin Pak Kosim ceritakan,” ucap Pak Kosim, setelah Emak meninggalkan kami untuk mengecek keadaan Danu.
Menghela napas, aku mengangguk menyetujui mendengarkan cerita mereka. Apa pun itu, aku harus siap mendengar kejutan lainnya.
Pak Hakim yang mulai bercerita, “Saya, Kosim, Dadang, dan Adi bersabahat. Kami satu angkatan sebagai Chef termuda di kota Bogor. Tapi sayangnya persahabatan kami berakhir karena ambisi dan keserakahan salah satu dari kami. Sekaligus menjadi penyebab saya harus bersahabat dengan kursi roda ini,” jelas Pak Hakim, dengan tenang.
Sepertinya, Pak Hakim adalah tipe lelaki yang sabar dan bijaksana. Melihat dari ekspresi wajahnya yang begitu tenang dan damai, padahal ia sedang menceritakan kejadian pahit dalam hidupnya.