WULAN
PERSEKONGKOLAN TERANCAM BUBAR
Jam di pergelangan tangan menunjukan pukul dua siang lebih lima menit, akhirnya berakhir juga untuk hari ini. Dokter Anna sudah pamit duluan dan menyerahkan sisanya padaku.
Danu masih berkutat dengan kegiatannya, aku meregangkan tubuh, sejenak merileksasi otot-otot kepala dan bahu. Sudah tiga hari ini dokter Anna dan aku memberikan terapi dan sugesti positif pada Danu, untuk menghilangkan traumanya sekaligus agar Danu bisa menerima kematian Ayahnya.
Bangkit dari duduk, aku mengusap pucuk kepala Danu. “Sampai ketemu besok, Danu.”
Danu hanya mengangguk, tetap asyik dengan kegiatannya. Ia tidak mengantarku seperti biasanya. Memperhatikannya lagi sebelum aku meninggalkannya, ada rasa iba dengan nasibnya yang tidak beda jauh denganku, yatim piatu. Aku lebih beruntung, meski sempat merasakan pahit dalam perjalanan hidup kami, setidaknya Mama meninggal aku sudah dewasa dan mandiri.
Danu, ibunya meninggal saat ia masih kecil, ditambah keistimewaannya. Emak, Aya, dokter Anna, dan aku yang membantunya menanamkan memori tentang ibunya melalui bunga mawar dan foto ibu mereka. Makanya Danu sangat suka menggambar bunga mawar, terutama mawar di halaman rumah yang ditanam oleh ibunya.
Sebelum melangkahkan kaki keluar kamar, aku mengintip lagi. Danu masih tetap fokus dengan kegiatannya. Gambar Danu semakin bagus dan jelas, tadi ia menggambar dua buah botol. Entah botol apa, berulang-ulang dia menggambar dua buah botol yang sama, kemudian menghapusnya karena tidak sesuai keinganannya.
Sejak kematian Ayahnya, aku perhatikan tingkah Danu tidak ada yang mencurigakan dan membahayakanku. Semoga saja ia sudah lupa dengan kedatanganku tempo hari, aku yakin tidak akan ada yang percaya ceritanya. Alibiku cukup kuat, aku berada di klinik bersama dokter Anna.
“Danu, yakin tidak mau antar Wulan?” tanyaku, meyakinkannya. Apakah dia benar-benar tidak mau mengantarku keluar kamarnya. Namun, tidak ada jawaban. Danu tenggelam dengan pinsil dan buku gambarnya. Aku mengedik, melangkah keluar kamar.
“Ay, tolong maafkan Hatta!”
Terdengar keributan di ruang keluarga. Tangan Aya ditarik Hatta, tapi dihempaskan oleh Aya. Hatta menarik bahu Aya yang berniat meninggalkannya, kini mereka berhadap-hadapan, kedua tangan Aya terlipat di dadanya.
Diam-diam aku mengambil foto mereka, mengirmkannya pada Riyu. Sepertinya Aya dan Hatta sedang bertengkar. Penasaran ingin menguping pertengkaran mereka, aku pura-pura berjalan menuju dapur.
“Hatta sungguh-sungguh minta maaf! Tolong jangan marah lagi.”