RIYU
CINTAKU MENGANCAM NYAWA AYA
Haduh, kenapa sampai keceplosan, saking senangnya melihat pertengkaran mereka. Si bodoh Wulan, tahu saja informasi di rumah Aya. Menggenggam erat ponsel, hayalanku membawa kembali masa kecil aku dan Aya. Sudah cukup menuruti semua kemauan Papi, dipaksa harus berpisah dari Aya. Nggak mau lagi kehilangan Aya untuk kedua kalinya.
Drrtt … drrtt … drtt …
Ponsel di tanganku bergetar, pesan dari Wulan.
Wulan: Kita harus ketemu sekarang, jemput aku di rumah Aya!
Sial, sudah berani atur-atur aku perempuan bodoh ini!
Tapi akan bahaya jika tidak menuruti kemauannya, bisa-bisa terbongkar semua. Ah, terpaksa aku harus menjemputnya.
Aku: Ok, tunggu aku di depan. Sebentar lagi aku jemput.
Balasan pesan untuk Wulan sudah dibaca, harus segera bergegas ke rumah Aya. Aku masih butuh Wulan, nanti setelah beres semuanya baru bisa menendangnya dari hidupku.
Secara fisik Wulan memang wanita cantik dan menarik, tadinya aku pikir dia wanita polos yang berhati mulia karena pekerjaannya itu. Tak tahunya, kami satu habitat. Manusia yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang kami inginkan.
Ciiitt …
Rem tangan kutarik, mobil berhenti tidak jauh dari rumah Aya, sengaja parkir di sini agar aman. Aku tidak mau sampai ketahuan menjemput Wulan, rahasia antara kami harus tetap terjaga. Segera kukirim pesan pada Wulan,
Aku: Sudah sampai!
Menyenderkan kepala beralaskan tangan di kursi mobil, membayangkan ekspresi wajah sedih Aya, kemarin. Kasihan, Aya pasti terguncang mentalnya. Siapa orang yang sengaja membunuh Chef Dadang?
Tok … tok … tok …
Ketukan di kaca, membawa kesadaranku kembali. Wulan mendekatkan wajahnya ke kaca mobil, membuatku terhentak.
Haisshh …
Mengusap dada, segera menurunkan kaca jendela, “Hei, kamu sengaja mau bikin aku jantungan, hah?!”
“Iya! Bukannya buka pintu mobil, malah bengong!” bentak Wulan, kembali menggedor kaca mobil minta dibukakan pintunya.
Ceklek …
Kunci pintu mobil terbuka, “Sabar dong! Sudah syukur aku mau jemput kamu!”
Wulan masuk ke dalam mobil dan menghempas badannya ke kursi, ekspresi wajahnya tidak sedap dipandang. Mulutnya maju beberapa centi, matanya membulat, kedua tangannya dilipat ke dada.
“Jelaskan! Apa maksud pesan yang kamu kirim tadi!”
Lagi-lagi ia membentakku seenaknya. Dia pikir siapa dia, bisa semaunya memperlakukan aku. Berhubung aku masih membutuhkannya, harus sabar dan mengalah.
“Pesanku yang mana, cantik?”