HATTA
PENGHENTIAN PENYELIDIKAN
Goblok! Bodoh! Tolol!
Plak! Plak!
Menampar pipi sendiri, menyesali semua kebodohan yang telah dilakukan. Gue kayak orang bego dihadapan semua orang, laki-laki yang mengaku mencintai Aya tapi malah gue sendiri yang bikin Aya menderita.
Tapi gue juga nggak mungkin mengacuhkan permintaan Mimih bgitu saja. Kenapa sih, Mimih tidak menyetujui hubungan gue dengan Aya? Padahal, Apa, yang jadi korbannya saja tidak keberatan gue menjalin hubungan dengan Aya. Ya Tuhan, bagai makan buah simalakama hidup gue sekarang. Dimakan salah, nggak dimakan ya tambah salah.
Arrgghhh …
Meremas-remas kepala,
Brak … brak …
Memukul-mukul meja, melampiaskan gamma di hati. jejen yang merasa terganggu dengan tingkah gue, protes.
“Kalau mau stress, jangan di sini! Sana, ke Bar atau Karokean. Berisik, aja!”
Tidak menghiraukannya, gue masih asyik dengan dilema hati. Menghela napas panjang dan dalam, separuh badan gue roboh di atas meja. Terdengar cekikik Jejen,
Hi … hi … hi …
“Beres stress, dia pingsan di meja. Hatta, Hatta hidup lo susat amat, Sob!”
Beberapa saat kemudian terdengar,
“Hatta!”
“Hattaaa!!”
“Hatttaaaaa!!!”
Teriakan Pak Kom, menusuk genderang telinga. Jejen mengguncang-guncang badan gue, mungkin dia pikir gue terlelap tidur lagi di atas meja kerja.
“Ta, wooy! Bangun, tuh ada panggilan.”
Dengan malas memutar posisi kepala gue dari telungkup menghadap ke Jejen, “Iya, gue tahu!” lalu kembali ke posisi semula.
“Buruan, sebelum nama gue ikut kesebut sama Pak Kom.”
Baru saja Jejen mengatakannya. Eh, Pak Kom sudah sehati dengannya.
“Jejen!”
“Jejeeenn!!
Jejen mentoyor kepala gue, “Ah, sialan lo. Kena juga kan gue jadinya!”
Mengintip dari balik tangan, Jejen bergegas ke ruangan Pak Kom. Tunggu 5 menit, baru bergabung dengan Jejen, pikir gue.
Namun, belum juga 5 menit Jejen sudah keluar dari ruangan membawa amplop menuju meja gue.
Braak!
“Lo, ya Ta! Gue kan jadinya yang dikasih pr sama Pak Kom. Pokoknya, gue nggak mau tahu, itu amplop harus lo kasih sama calon jodoh lo. Sana, ke rumahnya!”
Refleks gue menegakkan badan mendengar perkataan Jejen, dari kemarin mencari alasan agar Aya mau nemuin gue. Selama gue beredar di rumahnya, Aya selalu menghindar. Memeluk Jejen, mengecup pipinya, lalu menciumi amplop di tangan gue.
Jejen melap kencang pipinya. Kemudian ia bergaya ala-ala Lekong Pasar Malam, “Ih, najis. Emang akika cowok apaan, dibayar cuma pake cium!”
“Jejen, hanupis!”
Jejen mendengus kesal, “Eh, Ta. Hanupis artinya apaan?”
“Aduh, Jejen makana gaul atuh gaul geura. Hanupis teh singkatan, hatur nuhun pisan.”
(makana=makanya; hatur nuhun pisan=terima kasih banyak)