AYA
DIARY IBU (2)
Glekk … glekk …
Terdengar suara larutan masuk ke tenggorokkanku. Asapnya mengepul dari dalam mug, aroma pandan menguar di kamar, ketika Emak membawa minuman rempah: rebusan jahe pandan dicampur madu, untukku. Menghirup aroma pandan di udara, sambil menikmati minuman rempah di mug biru.
Ahh …
Rasanya sangat nikmat. Memiringkan mug, kembali meminum sisa-sisa larutan berempah. Dan akhirnya mug biru kosong, larutan berempah buatan Emak pindah tempat ke dalam perutku. Badan terasa hangat dan nyaman, kepala terasa ringan, tidak lagi berdenyut.
“Harus istirahat!” perintah Tuan Menyebalkan, pada Emak. Diminta mengawasiku, agar benar-benar istirahat. Memang siapa dia? Berani mengatur-ngatur aku! Terus kenapa juga, Emak menuruti permintaannya. Gara-gara tragedi itu, selesai kompetisi aku terkurung di rumah. Sangat membosankan dan menyebalkan. Sama dengan namanya, Tuan Menyebalkan!
Hari ini jadwal Danu bersama Wulan, tadi kulihat dokter Anna juga datang. Entah kenapa, Danu seperti memusuhi Wulan, makanya dokter Anna menemani. Dua hari lalu, Danu melempari Wulan dengan krayonnya. Jika Wulan mendekati, Danu memukulnya. Aneh, tapi biarlah. Toh sudah ada dokter Anna yang menanganinya. Untuk saat ini, tak perlu banyak berpikir karena otakku juga perlu istirahat.
Rasa kantuk mulai menyerang, mulutku terbuka lebar, tanganku segera menutupinya. Kata Ibu, kalau nguap harus ditutup. Tidak boleh memperlihatkan mulut terbuka lebar-lebar, apalagi jika dilihat orang lain, itu tidak sopan.
Rebahan di kasur, sambil baca diary Ibu, sepertinya sangat cocok. Aku mulai bergerak untuk merebahkan badan. Menarik selimut hingga setengah badan, membetulkan letak bantal sebelum mulai membaca diary Ibu.
Aku senang melihat persahabatan kalian sampai hari ini, Dang. Semoga bisa terus terjalin sampai kalian menua.
Kompetisi masak yang diikuti Dadang dan sahabatnya membuatku sedikit cemburu, mereka sering berlatih masak bersama, Dadang jadi mengacuhkan aku. Tapi tak apa, selama Dadang tersenyum bahagia aku juga ikut bahagia.
Sebelum tidur, Dadang menulis resep-resep baru untuk percobaannya. Setelah resepnya sukses, dia tidak pelit berbagi resep dengan sahabat-sahabatnya. Katanya biar saja mereka meniru resepnya, karena dia sudah menyimpan resep-resep khusus untuk dirinya.
Toge Goreng Spesial Dadang, begitu katanya. Resep rahasia yang sengaja dia simpan sendiri untuk grand final kompetisi masak. Padaku pula dia selalu menitipkan resep-resep rahasianya. Entah sudah berapa banyak aku simpan resep-resep rahasia milikmu, Dang.
Deg …
Toge Goreng Spesial, dengan cepat jemari membuka-buka lembaran diary Ibu mencari resep itu. Tidak ada, di belakang buku juga tak ada. Di mana Ibu menyimpan semua resep-resep rahasia Ayah? Apa mungkin di dalam kotak hitam itu? Ah, nanti sajalah. Sekarang, aku hanya ingin rebahan sambil meneruskan membaca. Jariku membuka lembaran baru,
Sungguh amat disayangkan, tragedi itu harus terjadi. Spatula Emas merusak persahabatan kalian, memporak porandakan masa depan kalian, menghancurkan kepercayaan. Kenapa kamu mau dibodohi kepalsuan gemerlap dunia, Dadang?
Sudah kukatakan tidak, jangan kau terhasut bujuk rayu Adi. Dia hanya memanfaatkanmu saja, Dang. Kenapa kau tidak mau mendengarkan aku? Sungguh, penyesalanmu tak bisa menyembuhkan duka dan luka mereka. Pernahkah kau memikirkan nasib keluarga mereka, sebelum kau menghianati mereka? Memikirkan nasib keluarga kita?
Bodoh dan tolol kamu, Dang. Aku kesal tapi tidak tega melihat mata nanarmu yang mengakui semua kebodohanmu. Dengan tangan gemetar kau menyeruput teh panas, yang aku buat. Menceritakan kebakaran gudang yang membuat Kosim dan Hakim dibawa ke rumah sakit. Semua ulah Adi, tapi kau yang kena skors dikeluarkan dari kompetisi. bukan hanya itu, Dang. Nama baikmu hancur, akibat kecerobohan dan kebodohanmu. Untung saja Kosim dan Hakim tidak menuntutmu, mereka tahu kamu juga korban seperti mereka. Adi yang harusnya bertanggung jawab atas kebakaran itu, dia berhasil kabur dari tanggung jawabnya.
Arrgghh …
Ingin sekali bisa mengucapkan, Bodoh! Tolol! Goblok! Pecundang! Bajingan! Padamu, Dang. Gemas, melihat ketidak berdayaan dan kepasrahanmu! Tapi nasi sudah menjadi bubur, apa yang terjadi hanya bisa disesali. Aku memilih berjuang bersamamu, dengan kondisi apa pun.
Bau alkohol menguar lagi dari mulutmu. Sampai kapan kamu akan menghancurkan hidupmu sendiri, Dang? Tidak perdulikah kau, pada aku dan Aya? Tidak kasihan, melihat tangisku? Aku harus bagaimana, mengembalikkan Dadangku yang dulu?
Ya Tuhan, Ibu berkata kasar! Aku hanya tahu Ibu yang selalu berkata lembut, pasti amat berat untuknya. Membaca diary Ibu, dugaanku benar. Pak Kosim dan Pak Hakim memang orang baik. Mereka juga mengatakan Ayah adalah korban sama seperti mereka, tidak sedikit pun mereka menyalahkan Ayah yang telah menghianati persahabatan. Akan aku pastikan, Om Adi bertanggung jawab atas perbuatannya! Geramku, dalam hati.