AYA
DANU DIRACUN
Berderit suara kulkas yang bergeser, tanganku menekan tombol pada tembok. Lalu,
Brak …
Papan menimpa belakang kulkas, aku menarik kotak hitam dari lemari rahasia. Kemudian memeriksa lemari itu, kosong, tidak ada apa-apa. Ketika kotak hitam terbuka, juga tidak ada apa-apa, kosong. Di mana Ibu menyimpan semua resep rahasia Ayah?
Tuk … tuk … tuk …
Jemari mengetuk-ngetuk kotak hitam, memutar otak. Kira-kira, Ibu akan menyimpannya di mana? Meremas rambut dengan kedua tangan. Ah, terlalu sulit memikirkannya saat ini. Aku mengembalikan kotak hitam, mendorong kulkas kembali ke tempatnya.
Melongokkan kepala ke dalam kulkas, mengambil minuman dingin lalu duduk kursi meja makan dapur. Bola mataku berputar memeriksa setiap sudut dapur sambil menyeruput minuman, kemudian menopang dagu dengan kedua tangan.
Memejamkan kedua mata, mencoba masuk dalam pikiran Ibu. Kalau aku jadi Ibu, tempat seperti apa yang paling aman untuk menyimpan resep rahasia Ayah? Gelap, hanya kegelapan yang aku lihat, mengapa begitu sulit?
Arrgghh …
Menggigit-gigit kuku juga tidak membantu. Sudahlah, tidak mau memaksa otakku lagi. Nanti saja tanyakan Emak, semoga saja Emak tahu. Isi kepala aku bawa ke kompetisi masak. Satu tahap lagi untuk mendapatkan spatula emas, aku yakin bisa mendapatkannya. Riyu memang lawan yang cukup tangguh. Namun, akhir-akhir ini konsentrasi Riyu seperti bubar jalan, ada apa dengannya?
Teringat foto yang dikirim Tuan Menyebalkan. Apa Riyu dan Wulan pacaran? Terus mereka bertengkar, jadinya Riyu kehilangan fokusnya. Tapi kurasa bukan, pasti ada hal lain yang menjadi alasan foto itu dikirimkan padaku. Sayang, sampai detik ini belum ada penjelasannya. Ah, di keluargaku saja sudah banyak rahasia dan kejutan. Kenapa Tuan Menyebalkan ikut-ikutan memberi rahasia yang harus kupecahkan.
Drrtt … drrtt … drrtt …
Getar ponsel di meja, telunjuk membuka kunci layar. Melirik pada layar ponsel, berdoa dalam hati. Semoga kabar baik yang kuterima.
Kamu sangat berani, Cahaya! Masih tidak mau mundur dari kompetisi masak!
Jangan menyesal, jika orang yang kamu sayang menyusul Ayahmu!
Deg …
Pesan ancaman itu lagi, kedua tanganku mengepal kencang. Seandainya saja orang yang mengirimkan pesan ancaman itu ada di hadapanku, sudah kutinju dia. Kubikin pesek hidungnya! Amarah mulai membuncah di dada.
Siapa pun kamu! Saya tidak takut dengan ancamanmu!
Saya akan datangi kamu! Meminta nyawamu atas nyawa Ayahku!
Pesan terkirim, si pengancam membaca pesanku. Lekas aku ke kamar membawa ponsel lain, lalu kembali ke dapur. Menelepon nomor itu, dengan nomor baru yang sengaja aku beli.
Kring … kring … kring …
Terdengar nada sambung, dengan sabar aku menunggunya. Dan akhirnya,
“Halo … “
Deg …
Suara perempuan??? Aku, kenal suara itu! Seperti suara –
“Halo?”
Terdengar suara yang sama. Ya, aku tahu suara itu!
“Halo! Aku tahu siapa kamu!”
Klik …
Sambungan telepon diputus. Sialan! Aku sudah curiga, ternyata benar dugaanku. Baiklah, kita akan memulai permainan dengan caraku. Sudah cukup permainanmu, sekarang giliran aku yang bermain.
ESOKNYA
“Aya!” teriak Emak membuka pintu kamarku. Emak datang tergopoh-gopoh, “Danu, Ay!”
“Danu kunaon, Mak?”
(kunaon=kenapa)
“Danu – “
Aku segera berlari ke kamar Danu, “Danu?!”
Ia meringkuk di balik selimutnya, tubuhnya berguncang-guncang. Aku menempelkan tangan ke dahi Danu, tidak panas. Emak masuk ke kamar, “Tadi atos diukur, suhuna 36 derajat!”