SETELAH KEPERGIAN DANU
Aya mengaduk minuman di gelasnya, sudah ada tiga gelas lainnya berisi air berwarna hijau di gelas bening yang berjejer di meja ruang tamu. Selesai mengaduk, Aya tersenyum puas. Ia mengangkat gelas berisi air berwarna merah, yang tadi diaduknya.
“Sabar ya, kita masih menunggu kedatangan satu orang tamu istimewa. Nanti kita nikmati minuman ini bersama-sama. Ok,” ucap Aya, mengerlingkan matanya pada perempuan yang duduk di sebelahnya lalu menaruh kembali gelasnya ke meja. Ketika Aya membawa perempuan itu ke ruang keluarga, bel pintu depan berbunyi.
Ting … tong … ting … tong …
“Tamu kita sudah datang, kamu tunggu di sini ya. Kita akan kasih kejutan untuknya,” ucap Aya, menepuk pelan pundak perempuan itu. Dengan santai Aya bangkit dari duduknya menuju pintu.
Krek …
Pintu terbuka, dihadapan Aya berdiri tamu yang memang sedang ditunggu olehnya. “Masuk, Riyu. kamu sudah kami tunggu dari tadi.” Aya masuk dengan membiarkan pintu depan terbuka.
“Kami? Memang kamu undang siapa lagi, Ay?”
“Teman, kamu juga kenal.”
Riyu mengikuti langkah kaki Aya masuk ke dalam rumah.
“Duduk, kamu tunggu sebentar ya.” Aya menatap mata Riyu sesaat, “Minumannya jangan di minum dulu ya, kita cheers barengan.”
Riyu mengangguk, wajahnya tampak sumringah karena Aya mengundangnya makan siang. Ketika Aya menghilang dari pandangannya, Riyu mengoceh sendiri. “Aku harus mengungkapkan perasaanku ke Aya. Tidak mau kehilangan dia lagi.”
Riyu menegakkan duduknya, bola matanya berputar mengitari sudut-sudut ruangan. Tangan kirinya memegang dadanya, degup jantungnya sedikit tidak beraturan seperti rasa yang ada dalam hatinya.
Tap … tap … tap …
Langkah kaki terdengar menuju ruangan di mana Riyu berada, bukan hanya satu orang tapi ada dua orang perempuan yang muncul di hadapan Riyu.
“Wu wulan?!”
Riyu tersentak melihat kehadiran perempuan yang sama sekali tidak diharapkannya kini ada di hadapannya.
“Aku juga mengundang Wulan datang makan siang bersama kita, Riyu.” Aya melepas ikatan tangan dan kaki Wulan, juga membuka sumpalan di mulut Wulan. Aya meminta Wulan duduk di sebelah Riyu. “Kenapa wajahmu, Riyu? Kaget lihat Wulan di sini?”
Riyu membawa ingatannya pada saat dia mendorong Wulan dari jembatan di atas sungai Ciliwung. “I ini, iini nggak mungkin!” pekik Riyu, menggeser duduknya menjauhi Wulan. Bola matanya membesar, tubuhnya sedikit bergetar.
Aya mengembangkan senyuman melihat ketakutan Riyu, “Nggak mungkin kenapa? Karena kamu sudah membunuh Wulan, tapi sekarang dia masih hidup? Itu maksudmu?”
Mulut Riyu terbuka lebar, alis matanya terangkat dan bola matanya semakin membesar. “Aapa, maksudmu? A aku ti tidak – “
Aya memotong ucapan Riyu menatapnya tajam, “Aku yang menyelamatkan Wulan dari kematian, tapi sayang dia lolos dari mulut buaya masuk mulut harimau!” Aya mengalihkan pandangannya pada Wulan, “Kamu ingin mengatakan sesuatu pada Riyu?” Aya memberi isyarat tangan pada Wulan untuk mengungkapkan isi hatinya, “silahkan!”
Wulan memandang sayu pada Riyu, “Aku pikir kamu benar-benar jatuh cinta padaku, Riyu! Kamu berjanji akan menikahi aku setelah semuanya selesai. Tapi kamu bohong, Riyu!” Wulan mengedipkan matanya tiga kali pada Riyu, memberikan isyarat.