URAIAN BENANG MERAH
Setelah Ayah Meninggal
Om Aris berhenti di depan pintu, ia menatap Aya, “Kamu betul-betul yakin akan menyerahkan restoran?”
Aya mengangguk, “Sangat yakin, Om. Mereka pantas mendapatkannya. Aya yakin, bakal menang kompetisi. Hadiahnya cukup besar, bisa untuk memulai usaha yang baru, juga biaya hidup bersama Danu dan Emak.”
“Ok, kalau kamu memang sudah benar-benar yakin. Akan Om buatkan surat hibahnya,” ucap Om Aris, kemudian ia berpamitan.
Aya masuk ke dalam rumah, Emak sedang membereskan gelas dan piring suguhan. Aya mengikuti Emak ke dapur, “Mak, nanti aja dicucinya. Sini duduk, Aya mau Emak cerita sekarang.”
Emak menghela napasnya, ia tahu cerita apa yang diminta oleh Aya. Untuk beberapa saat Emak menatap Aya sebelum mulai bercerita. “Aya ingat keneh nuju Emak ka dieu?”
(ingat keneh=masih ingat; nuju Emak k adieu= ketika Emak ke sini)
Aya mengangguk, “Emak kurus, wajahna sedih, kusut.”
Emak tersenyum kecil, “Emak nembe kaguguran. Usia kandungan 6 bulan, Emak pendarahan. Mereka masihan jatah emam ngan ukur sakali. Tapi lamun suami Emak aya di bumi, mereka pura-pura baik.
(nembe=baru saja; masihan=memberi; emam=makan; ngan ukur sakali=cuma satu kali)
“Mereka itu siapa, Mak?” tanya Aya, mengerutkan keningnya.
“Wulan dan Mamanya, mereka tinggal di rumah kami.”
“Wulan?” tanya Aya, bingung.
Emak menghela napasnya dalam, “Mamanya Wulan, merebut suami Emak. Karena Emak hamil, suami Emak tidak mau ceraikan Emak. Wulan dan Mamanya nyuruh Emak mengerjakan semua pekerjaan rumah sampai akhirnya Emak keguguran.”
Aya serius mendengarkan cerita Emak, “Lalu?”
“Dua hari tos kaguguran, suami Emak ke luar kota. Mereka usir Emak, dokter Anna menemukan Emak pingsan di pinggir jalan, terus Emak dibawa ka rumahna. Seminggu kemudian Emak dibawa ka rumah ini. Ibuna Aya cari asisten rumah tangga.”
Sebelum Aya bertanya lagi, Emak mendahului bertanya. “Aya, Emak bade naros, tapi jawab jujur.” Mata Emak lekat menatap mata Aya.
(bade naros= mau bertanya)
“Tanya naon, Mak?”
“Sabaraha banyak, Aya ngasih obat ka Ayah? Emak ningal sadayana, Aya.”
Aya menelan ludah, menatap Emak penuh penyesalan. “Maapin Aya, Mak.”
“Dimana botol obatna di simpen, Aya? “ tanya Emak, menatap Aya.
Aya menundukan pandangannya, “Tempat rahasia Ibu. Aya mohon, Emak jangan laporkan Aya ke polisi. Aya harus selesaikan kompetisi masak dan mendapatkan spatula emas. Setelah itu, Aya janji akan menyerahkan diri.”
Emak mendekati Aya, mengusap lembut rambut Aya. “Mana mungkin atuh Emak lapor polisi. Emak hoyong Aya jujur, biar hati Aya henteu tersiksa karena merasa bersalah atas kematian Ayah.”
(hoyong=ingin; henteu=tidak)
Aya memeluk Emak, diiringi derasnya air mata yang mengalir di pipinya. “Aya nyesel, Mak! Seandainya Aya tahu, Ayah sakit!”
Emak menepuk-nepuk punggung Aya, “Semua sudah terjadi. Emak minta Aya jangan ceroboh lagi, ya.” Kemudian Emak menyodorkan ponselnya pada Aya.
Mata Aya yang basah membaca pesan di ponsel Emak, “PDG, saha Mak?”
“Eta teh singkatan ti Pa Dadang Gozali, Ayahna Aya.”
Aya mengesat hidung dan matanya, sisa-sisa air di kelopak matanya kembali menetes. “Apa yang Ayah dan Emak selidiki?”
“Wulan.”
“Ada apa dengan Wulan?”