Pagi ini cerah sekali.
Aku bangun dengan penuh semangat dari tempat tidur. Udara pagi sungguh segar.
Kubentangkan kedua tangan untuk meregang otot dan kutatap kamarku. Poster sang pembalap itu masih ada. Tentu saja. Aku memasanginya alarm anti maling supaya tak dibuang mama diam-diam. Mama memang tak begitu suka tukang balap. Tapi aku sebaliknya. Maka dari itu poster tersebut sangat berharga buatku. Aku tersenyum menatapnya. Roman Julio. Orang Indonesia, pembalap nasional. Pemuda keren yang mengisi poster dinding kamarku. Aku sangat menyukainya. Selalu berdecak kagum dan tegang saat menonton balapannya. Roman sering dapat posisi di podium. Dia favoritku. Roman hebat sekali dalam menyetir. Sangat berbeda denganku yang dianggap racun lalu lintas karena tak becus mengemudi.
Sayang, akhir-akhir ini aku jarang mengikuti berita tentang Roman. Aku tak tahu perkembangan apa yang terjadi. Tapi aku akan selalu setia padanya.
Maju terus Roman.
--- Moy ---
Aku percaya Tuhan itu Maha Adil.
Sayang yang kulihat pagi ini benar-benar melukai hatiku.
Aku mengendarai mobilku melintasi jalanan kota yang ramai. Kulihat mobil-mobil lain berseliweran di sekitarku. Mobil-mobil yang tampak begitu bagus. Disetir dengan penuh rasa percaya diri. Kemampuan menyetir mereka lebih baik dariku.
Apa yang sebenarnya terjadi padaku ?
Aku pernah merajai sirkuit balap selama 4 tahun. Juara termuda di 3 sirkuit yang berbeda. Grand Prix pun pernah kujelajah. Medan buruk, medan baik, bukan masalah bagiku. Buatku balapan sama mudahnya dengan bernapas.
Tapi lihat diriku sekarang. Menyetir dengan muka seperti pesakitan. Mengendarai mobil kusam bertuliskan "Latihan". Mobil yang sulit kukendarai dengan benar. Tapi aku tak menyalahkan mobil ini. Aku merasa jadi pecundang. Aku tahu aku berubah. Bukan mobil yang bermasalah, tapi dirikulah yang bermasalah. Kemampuan menyetirku kini sangat buruk. Seolah hilang menguap bak bensin dijemur. Kuhapus keringat yang bercucuran di wajah. Aku benarĀbenar cecunguk. Tambahan lagi kejadian ini berlangsung di masa-masa seperti ini.
Aku berkeliaran di jalan bak orang sakit, sementara ada seorang jago balap tengah merajai kota. Tak ada yang mampu menandingi kegesitan mobilnya. Ia menjelajah isi kota dari satu tempat ke tempat lain. Merampok dengan kecepatan luar biasa.
Oh, Tuhan. Kenapa kau beri orang jahat seperti itu kemampuan menyetir hebat? Kenapa malah penjahat seperti dia?
Tapi aku percaya Tuhan itu Maha Adil.
Aku percaya.
--- Roman Julio ---
Sambaran mobil hitam itu terdengar mengerikan. Orang-orang menjerit. Seorang penjual bensin eceran terpejam sambil melindungi muka dengan kedua tangan. Dalam sekejap sedan hitam itu sudah jauh meninggalkan dirinya.
Kepulan asap dan debu membubung dari belakang mobil itu. Penjual bensin eceran itu menghela napas. Nyaris saja kendaraan tersebut menabraknya. Namun sambaran angin besar kembali dirasakannya. Di belakang mobil itu mengejar belasan kendaraan polisi. Sebuah sedan pribadi berwarna ungu tampak di barisan paling depan. Sirene polisi darurat menempel di atapnya. Mereka semua ngebut membuntuti sedan hitam tadi.
Orang-orang melotot heran. Ada apa ini? Syuting film Gone in Sixty Seconds versi Indonesia ?
Tak ada yang cukup bodoh untuk mengiyakan. Bukan. Ini jelas bukan syuting film. Tak ada teriakan galak sutradara saat meng-cut adegan. Tak ada figuran gemetaran karena belum pernah syuting. Dan yang jelas, tak ada tata krama sama sekali. Pengemudi sedan hitam hampir mencelakakan orang seenaknya. Kesibukan lalu lintas pun tak dianggap. Orang-orang segera paham. Rupanya berita di surat kabar memang benar. Kini mereka melihat dengan mata kepala sendiri.
Kota ini telah berubah menjadi kota koboi.
Kota wild west.