"Silakan, Pak," Hilda mempersilakan orang itu bicara. Hilda sendiri bergidik, tak berani menatap orang tersebut. Orang ini nggak normal, begitu pikirnya.
Sang vokalis kemudian menyibakkan rambutnya ke belakang. Tatapannya tajam, "Kenalkan, nama saya Bloody. Mahasiswa jurusan seni musik. Saya juga berprofesi sebagai vokalis rock-dance."
"Bloody siapa? Bloody building?" Peserta paling malas berulah lagi.
"Itu Body, bukan Bloody. Jangan plesetan di sini, Pak, " Hilda sekali lagi memperingatkan, "tidak lucu."
Bloody tak ambil pusing dengan kejadian itu, "Panggil saja saya Bloody. ltu nama vokalis saya. Untuk nama asli, saya rasa lebih baik dirahasiakan. Pernah dengar lagu-lagu dari album saya?" Bloody menatap para peserta sesi satu persatu.
Para peserta bergantian menggeleng. Tidak ada yang pernah merasa mendengar albumnya.
"Oh? Tidak ada?" Bloody mengangguk-angguk, "ya pantas saja. Dulu waktu rekaman album saya, kebetulan listriknya padam. Tidak ada generator. Album saya akhirnya batal, nggak jadi dirilis," ujarnya dengan muka kesal.
"Kenapa nggak rekaman ulang, Bung?" Peserta lain bertanya.
"Gimana mau rekaman ulang?" Sang vokalis makin kesal, "setelah kejadian listrik padam, produser rekaman saya bangkrut. Sial benar!"
Hilda merasa orang itu membuang waktu. Ia di sini untuk menceritakan masalah menyetirnya. Bukan curhat soal albumnya.
"Ah sudahlah," Bloody mengangkat kedua tangannya, "bikin mual saja mengingatnya. Sekarang apa yang harus saya ceritakan, Bu?" Vokalis itu menatap Hilda.
"Tolong ceritakan bagaimana anda terdaftar di kursus ini," sahut Hilda.
"Baiklah," Bloody mengerti, "akan saya ceritakan semuanya. Tapi sebelumnya maaf karena dandanan saya begini. Maklum, baru pulang manggung. Tergesa-gesa, tak sempat membersihkan diri," Bloody memperbaiki duduknya.
Para peserta sesi sekarang jadi lebih serius. Mereka penasaran bagaimana seorang vokalis rock-dance bisa terdampar di kursus ini.
"Sebenarnya sambilan saya bukan vokalis," Bloody memulai kisahnya, “vokalis cuma buat having fun. Saya lebih niat cari duit dengan menjadi sopir mobil. Tapi hanya sopir cadangan, sih. Jarang sekali dipakai."
Sopir mobil? Roman mulai tertarik dengan cerita Bloody. Moy pun demikian. Ia sudah tak merasa seram dengan penampilan Bloody. Moy lalu mencoba mengakrabkan diri dengannya.
"Sopir mobil, ya?" Moy berkata pada Bloody, "sopir mobil apa? Saya mau kapan-kapan jadi penumpangnya,” ujar Moy dengan gaya sok akrab.
“Saya sopir mobil jenazah,” sahut Bloody, “hanya untuk jenazah,”
“Tidak jadi kalau begitu,” Moy masih ingin berumur panjang.
"Sebagai sopir mobil jenazah, saya pernah menyetir menempuh perjalanan jauh," Bloody meneruskan, "untung saya kuat menyetir sendirian. Tapi pernah juga terpaksa bermalam di pinggir jalan.”
"Sendirian saja? Sambil bawa jenazah?" Hilda bertanya.
"Ya, sendirian saja sambil bawa jenazah," sahut Bloody, "tapi tidak masalah. Saya enjoy saja."
Semua orang di ruangan itu tambah tertarik. Seru juga kisah si Bloody.