Moy mulai berbicara.
“Sebenarnya saya malu hadir di pertemuan ini. Maaf lho, sekali lagi maaf. Tapi saya yakin banyak yang merasa pertemuan ini lebih mirip rehabilitasi pecandu alkohol ketimbang kursus setir."
Roman mengangguk-angguk. Gadis itu benar. Itu juga yang tadi nongol dibenaknya.
"Mungkin Ibu benar," Hilda menanggapi, "kursus setir ini memang lain dari yang lain. Kita di sini tak cuma berlatih cara menyetir, tapi juga membangun mental menyetir. Selain itu juga saling bantu memecahkan problem seputar mengemudi. Karena itulah menumpahkan unek-unek seperti Pak Bloody tadi saya izinkan."
"Tapi saya tak punya unek-unek," Moy masih bersikeras.
"Tidak perlu malu, Bu," Hilda membujuk, "tak usah menutup-nutupi. Saya sudah tahu pihak lalu lintas sering menerima keluhan masyarakat. Keluhan bahwa anda sekalian adalah racun lalu lintas. Ya, itu memang sebutan kejam. Anda semua juga berpendapat begitu, ‘kan? Tapi harus diakui anda sekalian memang bermasalah. Jadi buat apa lagi merasa malu?"
Moy sejenak diam. Namun beberapa saat kemudian ia buka suara, "Baiklah, saya akan bercerita. Tapi jangan ditertawakan ya."
Roman merogoh saku kanannya. Ternyata ada sisa keripik ceker di situ. Dari tadi kek dirinya tahu. Tak perlu menyesali tahu gejrot tadi. Roman pun diam-diam memasukkan keripik itu ke mulutnya. Silent eating. Tak ada peserta yang memerhatikan. Asik juga ngudap sambil nguping.
Moy lalu membuka topi bertepi lebarnya yang berwarna putih. Pantas saja dari tadi ia merasa gerah. Ternyata topinya masih terpakai di dalam ruangan. Sekarang tampaklah muka Moy seluruhnya. Gadis itu memelihara poni seperti tokoh-tokoh manga. Wajah ovalnya terlihat manis.
"Karena pak Bloody memakai nama samaran, maka saya juga. Panggil saja saya Moy. Saya mahasiswi filsafat semester akhir. Saya juga tak pandai menyetir seperti pak Bloody."
Hilda mengangguk-angguk .
“Saya kadang cemas menyetir di jalan. Jangan-jangan hari ini mobil saya ringsek, begitu pikir saya. Saya juga sering lupa arti rambu lalu lintas. Selain itu beberapa kali saya juga salah menyentuh instrumen mobil," Moy menguraikan.
“Begitu rupanya," Hilda mulai bisa menangkap kesulitan Moy dalam menyetir, "kalau begitu saya ingin mendengar salah satu pengalaman anda terkait problem tadi."
Moy mengangguk, "Baiklah. Kejadian itu sebenarnya sudah cukup lama,” Moy pun mengawali kisah, "pangkalnya adalah ibu saya. Ibu saya memang orangnya agak aneh. Sejak ayah saya meninggal, beliau tak mau lagi berhubungan dengan pria. Mungkin ibu sangat terguncang jiwanya dengan kematian ayah. Tapi walapun anti pria, kalau soal perjodohan saya, ibu jadi bersemangat. Ibu paling getol mencarikan suami untuk saya. Sudah berkali-kali saya dijodohkan oleh ibu, dan sudah berkali-kali pula gagal. Tak ada yang cocok. Nah, kasus menyetir saya ada hubungannya dengan perjodohan saya paling akhir.”
Moy mengambil nafas. Mulutnya linu juga. Padahal baru sebentar.
"Saat itu ibu menjodohkan saya dengan seseorang. Orangnya ramah dan baik hati. Saya suka padanya," Moy tersenyum mengenang.
"Seperti apa wajah bekas calon Anda?" Peserta paling malas mulai buka suara. Traumanya sudah hilang.
Moy menerawang, "Dia punya 2 mata, satu hidung, satu mulut, dan 2 telinga," Moy terbayang kembali wajah bekas calonnya, "pokoknya lengkap," Moy tampak puas sekali.
"Semua orang juga begitu, ‘kan? Kenapa anda begitu gembira?" Hilda tidak mengerti, "apa anda pernah dapat calon yang wajahnya tidak lengkap?"
"Pernah," sahut Moy, "ibu pernah menjodohkan saya dengan seseorang. Ia bintang tamu di sebuah acara televisi. Wajahnya tidak lengkap."