Speeders

Lumba-Lumba
Chapter #10

Lap 9: Praktik Lapangan (2)

Jo melakukan perampokan bank demi mewujudkan sebuah impian.

Sebuah impian yang sekian lama telah terkubur. Tidak ada yang tahu, impian itu berhubungan pula dengan Roman Julio. Sebuah impian untuk mengangkat klub balap jalanan Jo dan Roman menjadi klub balap profesional. 

Namun gara-gara peristiwa tragis itu, impian tersebut tidak terwujud hingga sekarang. 

Tetapi kini tidak masalah. Jo sudah mengumpulkan banyak uang untuk membangkitkan kembali klub balap itu. Kali ini untuk menjadi klub balap yang benar-benar besar dan pro. Hanya kurang uang sedikit lagi. Saat uangnya sudah terkumpul cukup nanti, Jo akan pensiun dari merampok. Sebagai gantinya ia akan bersenang-senang dengan membangkitkan dan mengembangkan kembali klub balapnya.

Dan kini kebetulan Jo malah disewa polisi untuk melatih mereka. Jo mau-mau saja. Ia tak takut bakal tertandingi kemampuan balapnya. Jo adalah kampiun mengebut yang bukan sekadar dilahirkan lewat diklat seperti ini. Keahlian mengebutnya yang mumpuni adalah hasil asahan selama bertahun-tahun.

Di sini, Jo juga sekalian berniat menyelidiki para polisi. Dengan bergabung bersama mereka, ia bisa mengetahui apa yang hendak dilakukan polisi. Mempelajari lawan terlebih dahulu memang siasat jitu.

"Bagus, Jo," Budiman tersenyum menatap latihan itu. Ia merasa puas.

"Jangan senang dulu," suara seorang pria mendadak terdengar dari belakang.

"Pak Komisaris ...," Budiman menoleh dan menyapa pria di belakangnya, "memang kenapa, Pak? Bukankah Jo sangat berguna bagi kita?"

"Huh, aku hanya merasa kurang sreg dengan orang itu," Komisaris Hassan menggerundel, "aku curiga padanya."

Budiman tak mengerti, "Kenapa harus curiga, Pak?"

"Entah kenapa ya ...," Komisaris Hassan menatap Jo Terry, "saat melihat gaya menyetirnya di awal tadi, rasanya agak-agak mirip dengan perampok bank itu."

Budiman tertawa kecil, "Bagaimana Bapak bisa mengira demikian? Saya sudah berkali-kali menyaksikan aksi ngebut perampok itu. Tampaknya tidak ada miripnya dengan gaya menyetir Jo."

"Memang sukar dilihat sih, namun aku merasa begitu," Komisaris Hassan lalu berbalik dan melangkah pergi, “huh, tapi sesukamulah. Mungkin memang hanya perasaanku.” 

Budiman memandangnya dari belakang. Komisaris Hassan betul-betul nyentrik. Semua orang di kantor juga tahu. Pria tua itu dikenal agak aneh. Kadang omongannya sulit dipahami.

Budiman angkat bahu.

Sementara itu di lapangan, Jo Terry masih melambaikan tangan. Sekarang ia menyuruh 3 mobil polisi maju beriringan. Ini membutuhkan keterampilan menyetir lebih tinggi dibanding latihan tadi. Saat ketiganya mengebut, jangan sampai saling bersenggolan atau menubruk.

"Maju!" Jo memberi aba-aba.

Tiga mobil polisi itu pun melesat. Dengan kecepatan tinggi mereka melintasi arena. Mereka terlihat melakukannya tanpa ragu. Drum-drum yang menjadi penghalang pun dapat mereka lewati dengan sigap. Penguasaan kemudi, perseneling, gas, kopling, serta rem orang-orang itu sungguh bagus. Mereka begitu ahli dan sudah tak asing lagi dengan kelimanya. Berkebalikan dengan yang terlihat sebuah di jalan kecil, di pinggir lapangan tersebut.

"Yang ini namanya kemudi, Bapak dan Ibu ...," Hilda berkata pada para peserta kursus. Ia menerangkan kembali dasar-dasar menyetir. Takutnya ada yang sudah lupa, "Kemudi adalah alat untuk rnembelokkan ro ...?"

"Daaa!" Sambung para peserta dengan kompak. 

"Pintar!" Hilda bertepuk tangan. Orang minder seperti mereka memang harus didongkrak semangatnya, "kalau yang ini fungsinya apa, Bapak dan Ibu?" Hilda menekan-nekan ringan pedal rem, "pedal rem adalah alat untuk menge ...?"

"Remmm!!" Sambung para peserta lagi. Suara mereka sengaja ramai-ramai dikeraskan. Cari muka ke pak Budiman.

Pak Budiman memang mengawasi dari pinggir lapangan. Para peserta tak berkutik. Meski pelajarannya terkesan konyol, mereka tak berani membantah Hilda di depan Budiman. Bisa dicabut SIM mereka detik ini juga.

"Apa-apaan sih itu?" Seorang polisi merasa terganggu dengan suara peserta kursus yang keras, "sedang apa mereka disini?" Tanyanya pada polisi di sebelah.

"Oh itu?" Polisi yang ditanya sudah paham, “mereka sedang latihan menyetir. Harus demikian kalau nggak mau dicabut SIM-nya. Masa tidak tahu? Mereka ‘kan racun lalu lintas."

Polisi yang tadi bertanya hanya geleng-geleng kepala. Ia kemudian berkonsentrasi lagi pada latihan di lapangan. Sebentar lagi gilirannya mengebut.

"Kalau yang ini namanya spion, Bapak dan Ibu. Kita harus selalu mengeceknya sebelum berkendara. Sudah menghadap arah yang tepat atau belum,” Hilda masih terus mengajar, “nah, kalau yang ini namanya sabuk pengaman. Sabuk ini berguna untuk menahan tubuh kita saat terjadi pengereman menda ...?"

Lihat selengkapnya