Speeders

Lumba-Lumba
Chapter #19

Lap 18: Bubarkan Saja Kursus Ini! (1)

Di sebuah kamar, pukul 23.30 malam.

Jo Terry tersenyum. Semua persiapan sudah selesai. Tinggal tunggu jam mainnya.

Jo melirik jam dinding. Masih 10 jam lagi. Ia akan kembali beraksi. Kali ini bukan uang yang akan ia ambil dari bank. Jo sekarang mengincar barang baru, emas batangan.

Beberapa orang kaya lebih suka menyimpan hartanya di bank dalam bentuk emas batangan. Tapi tidak semua bank di kota ini melayani penyimpanan dalam bentuk demikian. Karena itu baru kali ini Jo mendapat kesempatan untuk mengambilnya. Jo sudah mempelajari semua jalan yang akan dilewatinya. Jalan yang dilewati saat datang dan saat kabur.

Jo pun sudah menyelidiki kondisi semua jalan. Jam longgar, jam macet, jalur satu arah, dan lain-lain. Semua membentuk pola yang bisa dihapal. Jalur kali ini memang lebih menantang tingkat kesulitannya. Tapi itu sepadan dengan imbalannya. Emas batangan. Jo lebih menyukainya ketimbang uang. Jejaknya lebih mudah dihilangkan.

Jo Terry lalu membaringkan tubuh di atas pembaringan. Rasanya sungguh menyenangkan bisa beristirahat sejenak. Pelan-pelan Jo menoleh. Tangannya bergerak. Diangkatnya sebuah pigura yang tertelungkup di atas meja kecil. Jo menatap pigura itu.

Erina Ida sedang tersenyum manis. Tidak hanya dia. Ada juga Roman Julio tersenyum di samping kanannya. Lalu ada juga dirinya sendiri. Jo Terry terlihat mengacungkan jempol dan tertawa di samping kiri Erina.

Semua tampak menyenangkan.

Ketiganya berjongkok di depan mobil-mobil balap mereka yang berjejer. Mobil-mobil itu hasil modifikasi dari mobil pasaran biasa. Spanduk besar bertuliskan “Meteor Senja” tampak melintang di atas kap ketiga mobil. Itulah foto ketiganya saat masih berjaya di balap jalanan.

Jo Terry menatap foto itu.

Ya, Tuhan. Jo Terry mendesah. Ia sangat merindukan saat-saat itu. Kapan semua itu akan kembali?

Jo Terry membenamkan wajahnya yang suram ke bantal.

           ***


Keesokan harinya.

Suasana adem ayem saja. Para anggota Speeder-Man sedang tidak semangat. Mereka enggan masuk ke sesi. Hari ini sepertinya enak buat membolos. Mendingan piknik sendiri.

Mereka semua tak tahu akan ada kejadian besar pagi ini.

Sebuah duel penentuan.

Roman tidur-tiduran di rumahnya. Ia tak peduli lagi pada kursus setir. Wajah bu Hilda dan alat lasnya sudah dibuang jauh-jauh. Roman tak rnerindukannya sama sekali. Apa gunanya kursus setir? Toh Roman yakin tak akan berhasil. Mungkin malah lebih baik menemui psikiater saja.

Tapi Roman teringat bosnya. Jika ia tak ikut kursus, dirinya tak akan diajak kembali ke tim balap mereka. Tapi apakah dengan ikut kursus kemampuan menyetirnya membaik? Kalau tidak, memang siapa yang mau memakai pembalap loyo seperti dirinya?

Roman akhirnya ingat, hari ini ada pertandingan balap di sirkuit kota. Grand DV-O Championship. Balapan tersebut adalah puncak dari semua pertandingan balap DV-O-Championship yang sudah diadakan sejak tahun lalu. Bosnya mempertaruhkan nama besar tim mereka di balapan puncak tersebut. Roman tahu bosnya sangat sedih dirinya tak bisa ikut. Yah, bagaimana lagi?

Namun akan ada banyak kejutan di hari ini. Roman tak pernah menyangka juga akan terjun ke arena Grand DV-O-Championship nanti. Jo Terry juga. Keduanya akan terjun dengan cara yang lain.

Sebuah cara yang benar-benar gila.

Tiba-tiba terdengar bunyi peluit kapal. Itu nada dering ponsel Roman. Roman langsung mengangkat dan menjawabnya. Biar saja jika ternyata cuma misscall.

"Roman?" Suara seorang cewek terdengar dari seberang.

"Ada apa pagi-pagi begini?" Roman mengenali suara dari seberang. Itu suara Moy, "Awas kalau ngajak ke tempat kursus."

"Eh, siapa yang mau ke sana?" Moy menukas, "aku hanya ingin bertanya. Kau baik-baik saja? Tidak perlu memaksakan diri. Mungkin memang harus perlahan untuk bisa pulih dari trauma."

"Terima kasih," sahut Roman, "kau tak usah cemas. Aku sendiri sedang malas apa-apa. Anggap saja rehat sejenak sebelum coba menyetir lagi."

Moy terdiam sesaat sebelum lanjut bicara, “Kalau kau longgar, bagaimana jika aku main ke rumahmu?" Moy bertanya," kebetulan aku sedang tak ada kuliah. Bagaimana?"

"Boleh saja," Roman menggaruk bahunya, "tapi bukannya sekarang waktu masuk kursus? Kau nggak ikut?"

"Tidak, ah," Moy menjawab, "bolos saja. Hanya kali ini. Pilih main ke rumahmu."

Moy diam-diam berbunga. Ini kesempatan bagus berduaan dengan Roman.

"Tapi kau ke sini bukan untuk curhat, ‘kan?" Roman gemetaran.

Lihat selengkapnya