Dan batal sudah rencana piknik mereka.
Kutukan terhadap Lepto segera mengalir. Tak kunjung putus keluar dari mulut teman-temannya. Mereka sebenarnya sudah aman bersembunyi, tapi gara-gara Lepto jadi rusak semua. Lepto-lah yang membawa bu Hilda dan pak Budiman ke rumah itu. Teman-temannya sudah sepakat akan menjejalkan ban cadangan ke mulut Lepto nanti. Itu wajib hukumnya.
"Maaf teman-teman ...," Lepto kelihatan menyesal, "aku terpaksa melakukannya. Habis bagaimana lagi? Kalian tahu ‘kan pak Budiman itu polisi. Bisa-bisa aku kena KUHP tentang persekongkolan tindak kejahatan."
"Nggak usah banyak alasan," Moy melengos, "kami juga punya KUHP sendiri. Barang siapa membocorkan rahasia anggota kursus akan ...,"
"Disetrum aki atau mentraktir servis berkala 5 tahun penuh," sambung Roman dengan sigap, "nah, pilih mana?"
Lepto tak sempat menjawab karena Hilda keburu melambaikan tangan, memberi aba-aba untuk berangkat. Sesuai perkataan Hilda, mereka akan berlatih menyetir di jalan raya. Budiman tidak ikut karena harus balik ke kantor.
Ada 3 mobil yang tampak beriringan. Roman, karena masih belum sanggup menyetir, terpaksa menumpang mobil milik Moy. Bloody berstatus single fighter, alias menyetir sendirian. Sedang Hilda ... .
"Kenapa saya bisa satu mobil dengan anda, ya?" Hilda melirik Lepto. Wanita itu mulai menyadari kebodohannya, "dipikir-pikir bukankah saya benci pada anda?"
Lepto kelihatan gugup. Ia takut Hilda akan mengeluarkan alat las.
"Bu ... bukankah bu Hilda sendiri yang memutuskan demikian?" Lepto berkata sambil gemetaran. Ia tak tahu dengan ikutnya Hilda akan menjadi rezeki atau musibah. Jangan-jangan Hilda juga diam-diam naksir padanya.
"Benar juga, sih ...," Hilda menghela napas, "sudahlah. Anda ‘kan yang paling nggak beres di antara para peserta lain. Saya harus mengawasi anda dengan saksama.”
Ketiga mobil itu terus melaju di jalan raya. Jip biru langit Moy paling depan. Sedan Dalmatians Lepto ada di tengah. Sementara paling belakang tampak Bloody menyetir wagon merah hatinya. Ketiga mobil itu ditempeli papan bertuliskan "Latihan" dengan huruf besar-besar.
Hilda sudah mewanti mereka semua untuk ambil lajur kiri. Sementara jalanan pagi itu tampak biasa saja. Tidak terlalu padat.
"Yah, latihan lagi, latihan lagi ...," Moy tampak ogah-ogahan. Setirnya bergerak ke kiri dan kanan.
"Jangan meleng begitu. Kau harus jaga keseimbangan setir," Roman jadi cemas melihatnya, "apa boleh buat, sih. Kita ‘kan sudah ketahuan bolos," Roman lalu merogoh sakunya, mengambil kacang asin yang sempat dibawa. Tanpa sengaja ia lalu melirik ke bawah, "Kau tak biasa menyetir pakai sepatu, ya?“ Roman bertanya.
Moy menendang sepatunya yang tergeletak di lantai mobil, "Keterusan, sih. Nggak bisa menghilangkan kebiasaan dari dulu. Lepto aku lihat juga sama. Cuma Bloody saja yang masih pakai sepatu kalau menyetir."
"Ah, kalau dia sih karena takut saja. Nanti kakinya yang pecah-pecah kelihatan ...," ujar Roman asal-asalan, "aku sebenarnya agak heran pada kalian. Masa sudah sekian lama menyetir tidak terampil juga?"
"Aku sendiri juga tidak tahu," jawab Moy, "kalau menyetir rasanya tegang dan ragu-ragu. Bloody dan Lepto juga sama."
"Jangan-jangan masalah kalian sebenarnya sama denganku. Tidak terampil menyetir karena merasa takut. Cemas kalau nanti terjadi apa-apa. Akibatnya tindakan kalian saat menyetir tak terkendali. Itu bisa saja, ‘kan?"
"Tapi kami tidak mengalami trauma sepertimu," tukas Moy sambil terus menyetir.
" Tidak perlu harus trauma dulu. Kalau orangnya memang gampang cemas ... ya begitulah," Roman terkekeh, "maaf, bercanda. Makanya kalau menyetir istilahnya langsung hantam saja. Tanpa beban dan jangan ragu."
"Kau sendiri kenapa nggak langsung hantam saja kalau menyetir?“ Moy ganti bertanya, "mungkin keterampilan menyetirmu bisa pulih."
Roman menerawang keluar jendela, "Yah, kurasa memang sulit, sih ... ."
Moy tak berkata apa-apa lagi. Ia melirik jarum indikator kecepatan mobil. Masih setia di angka 5 km/jam.
"Bapak dan Ibu sekalian ...," terbayang lagi ucapan Hilda waktu akan berangkat, "saat di jalan nanti perhatikan terus indikator kecepatan. Jangan sampai melebihi 5 km/jam. Ingat, kita harus ekstra hati-hati karena ini jalan raya. Saya tak ingin kekonyolan-kekonyolan seperti kemarin terulang lagi. Pokoknya jangan melaju melebihi 5 km/jam!"
Roman, Bloody, Moy dan Lepto jelas malu. lni pelecehan. 5 km/jam? Apaan tuh? Memang kendaraan penghalus aspal?
Namun Hilda tak peduli. Katanya biar sekalian berlatih menahan emosi saat menyetir. Akibatnya, ketiga mobil itu pun melaju dengan lambatnya. Dari berangkat sampai sekarang masih saja sama. Gigi satu terus.
Orang-orang menoleh dengan muka melecehkan. Para peserta langsung jatuh mental. Apalagi saat ada pemakai jalan yang berhasil menyalip mobil mereka hanya dengan jalan kaki. Sungguh memalukan.