Spektrum

Akira Q
Chapter #2

Promosi dan Demosi

Satu saran bijaksana dariku, kalau pikiran kalian begitu terikat akan suatu hal, paksakan diri untuk tidur sebelum jam sembilan malam. Kecuali kalau kalian tidak keberatan menjalani hari dengan mata yang hanya tinggal 5 watt lagi, silahkan saja.

Aku melewatkan pelajaran jam pertama karena dilarang masuk akibat terlambat. Pelajaran pertama adalah matematika, dan aku bingung antara harus merasa senang atau merasa kecewa.

Seluruh mata tertuju ke arahku saat masuk, tapi tidak ada komentar hingga aku duduk.

“Jam berapa sekarang, pak.” Rachman, cowok yang duduk di depanku, menyengir lebar. Sindirannya menusuk hati, dan dia punya hak untuk melakukannya.

Mulutku menguap lebar. Aku mencoba menjaga mata untuk terbuka lebih lebar, tapi rasanya seperti ada barbel diikat di kelopak mataku. Wajah Rachman tidak lebih dari melihat bayangan di air yang berombak.

“Emang tadi belajar apa?” tanyaku. Mataku menghindari papan tulis, takut akan melihat sekumpulan angka dan rumus yang bisa membuatku tidur sekarang juga.

“Nggak banyak sih,” kata Krisan. Sama seperti Rachman, dia tidak lebih dari siluet di ruangan penuh asap, hanya saja aku bisa melihat kabut coklat tipis membentuk dirinya.

Aku melipat tanganku di meja dan membenamkan wajah di atasnya sambil mendengarkan Krisan memberitahuku apa yang guru di jam pertama lakukan tadi. Suaranya bagai direndam air dan menggema dari tempat yang jauh.

Kesadaranku datang dan pergi, membawaku ke dunia mimpi dan kenyataan setiap entah berapa menit sekali. Yang kutahu adalah saat aku sadar bahwa aku sedang berada di kenyataan, rasa ngantukku sudah sebagian menghilang. Cukup untukku melihat dengan jelas ketika guru jam pelajaran kedua datang.

Tidak banyak yang dibahas di sana; silabus untuk murid kelas 11 dan basa-basi yang hanya didengar oleh murid-murid ambisius. Perhatianku lebih fokus pada buku tulisku dan cerita pendek yang kutulis dengan setengah kesadaranku. Hasilnya? Mengerikan.

Sesekali aku melirik ke arah pintu, menanti Zafri datang. Atau Mella. Atau siapapun dari klub drama untuk menarikku keluar dari kelas ini. Dan benar saja, mereka berdua muncul bersama, tapi saat bel istirahat pertama berbunyi.

Krisan menepukku saat aku hendak meninggalkan kelas. Aku menoleh dan dihadapkan dengan sebuah kantong plastik putih besar yang berisi beragam cemilan. Perutku bernyanyi saat aku menatapnya.

“Beli ya,” pintanya. Helaian rambutnya yang halus jatuh menutupi kedua alisnya. Mata dan senyumannya tampak begitu memelas hingga aku merasa akan masuk neraka jika menolaknya. Ditambah perutku yang memulai pemberontakan, aku memutuskan untuk beli, sekaligus untuk Zafri dan Mella.

“Nggak bisa nolak lagi?” kata Zafri saat aku keluar.

Aku menyodorkan cemilan itu pada Zafri dan Mella. “Lu coba ditawarin sama dia, kalau bisa nolak, gue traktir lu jajanan dia seminggu.”

Sebelum sempat menghabiskan makanan, kami sudah tiba di kelas pertama untuk menawarkan klub drama pada anak-anak kelas 10. Aku berpegang teguh pada pemikiranku dulu: kalau bukan Aster yang menawarkan, hasilnya tidak akan bagus.

Semua mata tertuju pada kami, dan aku merasakan tatapan menghakimi mereka hingga ke tulang. Mella meninggalkan aku dan Zafri untuk menuliskan official account klub kami di papan tulis. Berdiri tepat di samping Zafri, aku mendorongnya maju untuk mulai berbicara, yang dengan cepat kusadari adalah ide buruk karena dia berbicara terlalu cepat dan beberapa kali mendadak berhenti untuk melambai pada temannya yang lewat kelas ini. Namun, semuanya tersampaikan dengan lumayan baik.

Aku sudah bisa menebak bagaimana promosi klub ini akan berjalan. Yang cowok tidak peduli, yang cewek banyak yang bergabung, dan mayoritas pertanyaan yang diajukan adalah mengenai Aster. Kami bertiga menjawab semampu kami, bahkan hingga menggunakan nama Aster sebagai umpan agar mendapat lebih banyak murid cowok, tapi tidak ada yang memakan umpannya.

Kelas-kelas selanjutnya tidak jauh berbeda hingga rasanya menyedihkan. Mayoritas yang bergabung adalah perempuan, dan yang laki-laki dapat dihitung dengan jari. Umpan Aster hanya berhasil menangkap tiga laki-laki. Mengatakannya seperti itu membuatku merasa berdosa, tolong maafkan aku. Setidaknya, sesekali kami bertemu dengan klub lain yang juga sedang mempromosikan diri, bisa bertukar penderitaan. Kecuali paduan suara, mereka menang banyak.

Belum selesai promosi ke semua kelas, bel istirahat pertama selesai berbunyi dan kami memutuskan akan melanjutkan promosi di istirahat kedua, yang sebelumnya kami akan mengadakan rapat cepat mengenai hasil dari promosi kami. Rapat itu untuk menentukan apa kami perlu bantuan kakak kelas atau tidak, dan seberapa sering kami akan menggunakan Aster untuk promosi.

Kelas masih sepi saat aku kembali, hanya beberapa murid di dalam melakukan urusan mereka masing-masing. Mataku jatuh di meja di baris ke tiga di dekat tembok. Si gadis tanpa warna itu duduk dengan teman sebangkunya—Mentari kalau tidak salah namanya—sambil menggambar sesuatu. Aku memfokuskan mataku pada bukunya; itu buku sketsa. Dia serius menggambar.

Suara di kepalaku berkata untuk mencoba mengobrol dengannya, untuk mencari tahu lebih dalam akan...anomali ini. Basa-basi apa pun, setidaknya mencoba mendekat. Ya, bukan ide buruk, selama aku tidak tiba-tiba bicara soal warna manusia dengannya. Cukup satu orang yang meninggalkanku karena aneh, aku tidak perlu yang kedua.

Aku mengurungkan niatku saat seorang guru masuk dan kelas dimulai. Masih sama seperti guru-guru sebelumnya, kami hanya membahas silabus dan perkenalan diri. Dan karena betapa tidak menariknya itu, perhatianku terpecah belah sepanjang kelas, dari memikirkan untuk promosi nanti, Nala, menulis cerita baru, dan seseorang yang menelponku di tengah kelas yang aku putuskan untuk abaikan.

Sesekali aku menoleh ke belakang untuk melihatnya lagi sambil berpura-pura melihat jam di tembok belakang. Wajahnya tidak berubah setiap kali aku menoleh: tanpa ekspresi, dan lebih sering menggambar daripada mengambil catatan.

Krisan menyikuku pelan, lalu berbisik, “Lu ada jam tangan, Ris.”

Tidak ada sindiran dalam suaranya, tapi wajahku memanas akan malu. Buru-buru aku memikirkan sebuah alasan, tapi tidak satupun huruf muncul di kepalaku.

Waw, sekalinya mikirin cewek dan lu lupa gimana jadi manusia normal, hina otakku. Namun, aku tidak protes.

Lihat selengkapnya