Di luar dugaan, kegiatan promosi memerlukan dua hari agar semua kelas didatangi. Kami juga mendatangi kembali kelas yang belum Aster datangi, berpura-pura lupa mengingatkan sebuah informasi penting, sambil mempromosikan ulang klub ini. Pada malam Sabtu, Syifa, selaku pengurus pendaftaran, mengatakan jumlah pendaftar meroket.
“Ibu Ketua harus traktir si Aster nih,” kata Zafri di grup.
Pada hari Sabtu, kami datang ke sekolah pagi-pagi sekali untuk mempersiapkan tes penerimaan anggota. Kami meniru tes tahun kemarin karena kami lebih fokus pada apa yang akan kami lakukan kedepannya daripada tes penerimaannya. Lagipula, tes ini hanya formalitas, mereka semua pasti diterima, kecuali mereka kurang ajar.
Untuk tes penerimaan ini, kami meminta bantuan dari kakak kelas, untuk penyambutan dan bantuan tenaga dalam mempersiapkan pos-posnya. Dua hari sebelumnya kami menyiapkan barang-barang yang diperlukan, seperti ember, tali, kain, spidol, dan boneka babi sebagai maskot di posku.
Kami mengadakan sebuah briefing sebelum pergi menyiapkan pos kami masing-masing. Posku, menakjubkannya, berada di lantai tiga. Satu hal yang membuatku tidak protes adalah karena partnerku Zafri. Untungnya, kami hanya perlu menggeser meja dan kursi saja untuk memberi sebuah ruang besar untuk tes mereka, karena pos kami adalah jantung dari tes penerimaan ini.
Ada total lima pos dalam tes ini yang mewakili setiap departemen, kecuali pos pertama yang mana melatih kerjasama tim, dan posku dan Zafri, yang mana dua departemen digabungkan. Pos kami pula yang merupakan pos dengan pengeluaran uang paling kecil, hanya untuk mencetak naskah saja. Pakai uang sendiri, sayangnya.
“Jujur, gue takut nanti ngetes mereka.” Aku menoleh ke arah Zafri yang baru mendorong meja dan kursi terakhir ke ujung secara asal. Kabut kuning masih berputar di sekitarnya, tapi bercak biru bercampur di dalamnya. “Gimana, ya? Kayak, gue baru dijadiin kepala departemen dan sekarang udah langsung disuruh nilai orang akting, kayak gimana gitu kesannya?”
Aku mengerti perasaannya. Pos kami hanya diisi oleh kami berdua tanpa ada kakak kelas kami yang sudah memiliki pengalaman lebih banyak untuk membantu kami. Dan, juga, kakak kelas yang datang hanya empat orang, tentu kami tidak bisa berharap banyak kecuali pada diri sendiri.
“Gue yakin bakal aman sih.” Aku menjatuhkan setumpuk kertas naskah di atas meja guru, satu-satunya meja yang tidak dipindahkan. Para anggota baru akan dibuat kelompok dan diundi untuk mendapat satu naskah, lalu memainkannya yang akan dinilai oleh Zafri. Aku juga ikut menilai, tapi hanya untuk diri sendiri.
Setelah aku merapikan meja-meja yang didorong dengan asal oleh Zafri, kami memutuskan untuk pergi ke pos Mella yang berada di lantai satu bersama Syifa dan satu kakak kelas bernama Kak Febri. Kami berharap Mella membawa gitar untuk mengisi waktu sambil bernyayi bersama, dan karena tidak ada kami pun mengimprovisasi dengan imajinasi kami.
Itu konser terbaik yang pernah kami lakukan, selain Mella menggunakan sapu sebagai gitar, Zafri yang menggila, dan kemampuan menyanyiku yang bisa membuat kucing kejang-kejang. Setidaknya Syifa dan Kak Febri menikmatinya, dan klub-klub lain yang juga menonton sebelum menerima anggota baru mereka.
Setelah beberapa lagu lagi dalam berbagai genre, satu per satu anggota baru berdatangan. Lalu, ketika jam di hape menunjukkan pukul delapan lewat lima belas, Mulyani, Aldi, dan mantan ketua dan wakil ketua, Kak Tika dan Kak Farris, memberikan salam pembuka, meresmikan dimulainya tes ini.
Aku tidak menyimak apa yang mereka katakan, terlalu fokus pada jumlah murid yang mendaftarkan diri di klub ini. Menghitung cepat, aku mendapatkan paling sedikit lima puluh orang, dan terus bertambah dengan mereka yang datang terlambat. Setidaknya dua kali jumlah pendaftar pada tahunku.
Setelah salam pembuka dan perkenalan dengan para pengurus, kami membagi mereka dalam kelompok yang akan diarahkan oleh satu anggota klub kami. Jumlahnya tidak rata, tapi cukup seimbang untuk setiap pos. Kemudian, mereka ditentukan pos mana yang akan mereka kunjungi pertama.
Aku bisa melihat perbedaan warna kelompokku dan kelompok yang lain. Yah, hanya aku yang bisa melihat perbedaan tersebut. Kelompok kami memiliki warna paling gelap hingga rasanya suram, dan aku tidak akan membicarakan mengenai kelompok Aster, terutama para laki-laki di sana. Aku bahkan tidak tahu warna apa yang mereka keluarkan.
Para penjaga pos kembali ke pos mereka masing-masing dan menunggu sebuah kelompok mendatangi pos kami. Aku mengerang saat harus kembali lagi ke lantai tiga.
Kelompok pertama datang bersama kakak pembina mereka, Ivan. Aku dan Zafri menyuruh mereka untuk berpisah menjadi dua kelompok sebelum menjelaskan bagaimana tes di pos kami berlangsung.
“Kalian nanti bakal dikasih satu naskah pendek sama Kak Idris. Kalian punya waktu sepuluh menit buat nyiapin penampilan kalian, dan kalian juga bebas gunain—” Zafri melambai ke luar kelas saat seorang temannya lewat di depan kelas. “—benda-benda di kelas ini buat jadi properti kalian.”
Aku meminta satu perwakilan dari setiap kelompok untuk maju ke meja guru dan memilih naskah yang kubalik. Warna gelap yang tadi mengambang di sekitar mereka sudah memudar, dan aku bisa melihat warna asli dari dua anak ini—hijau untuk yang cewek dan biru untuk yang cowok. Keduanya memperhatikan boneka babi pos kami.
“Maskot,” kataku sambil menepuk boneka itu. Mereka kembali ke kelompok mereka setelah memilih.
“Jumlah peran di dalam naskah tidak akan cukup untuk semuanya.” Aku memberitahu. “Kalian bisa mengimprovisasinya, atau memilih siapa yang tidak akan tampil. Gunakan kreativitas kalian.”
Zafri menangkupkan tangannya. “Kalian tampil maksimal sepuluh menit ya. Semangat!”
Sementara mereka semua sibuk mempersiapkan penampilan mereka, aku, Zafri, dan Ivan berkumpul di meja guru dan mengobrol, memberikan pendapat siapa yang mungkin akan tampil terbaik, kelompok terunik, dan kategori-kategori lainnya.
Sepuluh menit berlalu dengan cepat dan para anggota baru sudah siap untuk tampil. Kabut kuning bercampur dengan merah menunjukkan antusiasme yang tidak kulihat saat mereka datang. Mungkin ini tidak akan seburuk yang kukira.
Kelompok pertama maju sambil mengembalikan naskah padaku, dan kelompok kedua duduk mengitari mereka. Aku mendengar napas Zafri semakin cepat saat penampilan akan dimulai, aku tidak tahu kalau dia sedang gugup atau bersemangat, karena pembukaan mereka benar-benar menakjubkan.
Setelah sepuluh menit, kelompok kedua maju untuk tampil. Di tengah-tengah penampilan, aku sudah membuat penilaianku sendiri akan kedua kelompok, kelebihan dan kekurangan mereka. Kelompok pertama lebih unggul dalam menarik perhatian dengan ekspresi mereka dan gerak tubuh, sangat terkoordinasi. Namun, kelompok kedua menarik karena sebagian besar dialog mereka adalah improvisasi. Aku lebih condong terhadap kelompok kedua.