Aku tidak ingat banyak akan apa yang terjadi tiga hari ke belakang, tapi yang kutahu adalah bahwa sekarang hari Kamis, sekarang pelajaran matematika, dan pikiranku diambil alih oleh kucing gendut yang kutemui di kompleks perumahan di tengah-tengah diskusi kelompok. Aku baru kembali lagi ke kenyataan ketika Rachman bersin di sampingku.
“Nanti tinggal dikali sama bilangan penyebutnya, terus dibagi lima.” Krisan menyodorkan bukunya ke tengah meja untuk kami lihat. Rachman dan Adji mengangguk paham sementara aku melongo melihat rumus dan angka yang terlihat seperti tulisan prasasti di mataku.
“Lu ngerti?” Rachman berbisik ketika Krisan berbalik untuk menjelaskan materi ini pada murid di belakangnya. Rambutnya yang seperti lidi menutupi alisnya dan garis hitam tipis tampak seperti bayangan di bawah matanya.
Aku menggeleng. “Nggak satu hurufpun.”
Mataku bergerak memindai kelas dengan murid yang duduk berkelompok. Untuk pertama kalinya, kelas ini hanya diisi oleh dua warna: merah dan biru. Amarah dan kesedihan. Stres. Sangat sesuai dengan mata pelajaran ini. Hanya segelintir orang yang tidak mengeluarkan warna tersebut, dan hanya satu orang yang entah mengapa mengeluarkan warna kuning.
Maaf aku terdengar sangat membenci pelajaran ini, tapi aku memiliki sejarah buruk dengannya yang membuat sarapan dengan cabe rawit mentah terdengar seperti ide yang bagus.
Disclaimer: aku tidak bertanggungjawab kalau kalian benar-benar melakukan apa yang kuucapkan tadi di atas.
Pandanganku jatuh ke buku yang kutindih dengan lengan, di halaman penuh rumus yang terlihat seperti bahasa alien di mataku. Di halaman paling belakang berisi dialog-dialog pendek yang kubuat ketika guru menjelaskan, dan di bawahnya terdapat gambaran jelek seekor kucing yang seperti baru digeleng mobil dan disambar petir sepuluh kali. Masa depanku terlihat penuh warna hitam jika aku memilih untuk terus bergelut dengan rumus-rumus ini.
Aku menoleh ke barisan paling ujung di satu kelompok berisi empat orang cewek. Ketiga cewek tersebut mengeluarkan kabut biru gelap seperti tinta, dan satu dari mereka tidak mengeluarkan warna. Namun aku yakin jika dia memang mengeluarkan warna, warnanya tidak akan berbeda.
Nala merupakan salah satu cewek yang mengenakan kerudung putih ketika mengenakan seragam hari Kamis; baju hijau muda, celana atau rok hijau tua, dan rompi kotak-kotak dengan campuran kedua warna tersebut. Dandanannya yang begitu simpel membuatku sulit percaya bahwa dia orang yang sama yang mengenakan baju bernuansa pink pada hari Sabtu kemarin.
Seseorang menjentikkan jarinya di wajahku. Aku menoleh dan melihat Rachman memberiku tatapan aneh. Alisnya naik hingga menghilang di balik tirai rambutnya. “Lu ngelamun terus daritadi.”
Aku mengangguk pelan sambil memikirkan alasan. “Ngebayangin di masa depan mau beli gorengan mesti pake rumus kayak gini.” Aku tidak sengaja mendengus. Waktu aku melirik Krisan, dia tampak jengkel.
“Mulai lagi nih, ngehujat materi.” Krisan meninju bahuku pelan, tepat di memar yang kudapat setelah Maura memukulku.
“Itu mah bukan ngehujat, emang kenyataan.” Adji memberi dukungan pada pernyataanku. “‘Bang, tahu isinya jadi berapa?’. ‘Enam akar lima, mas’.”
Rachman mengetik sesuatu di hapenya. “Delapan ribu. Lu beli berapa emang?”
Ada rasa senang yang tidak baik ketika melihat Krisan mengangkat tangan, menyerah dengan sifat kami ini. Aku kagum kabut coklatnya masih begitu pekat tanpa campuran dari warna lain.
Kami mempelajari satu soal lagi sebelum bel istirahat berbunyi. Seketika setelah sang guru keluar, meja kami yang tadinya berisi buku dan alat tulis langsung ditutupi oleh satu tas plastik putih besar berisi makanan ringan. Aku berusaha untuk tidak menoleh ke sampingku, tapi mataku menolak untuk bekerja sama dan melirik Krisan. Bahuku merosot oleh beban tak kasat mata dan dosa yang akan kutanggung jika berani menolaknya.
Aku menggeleng. “Tolong, jangan.”
Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi senyumanya yang begitu lembut mengikis pertahanan diriku yang kasar dan lemah ini. Aku mengalihkan pandang dengan segenap tenagaku untuk meminta bantuan pada Rachman dan Adji, tapi mereka sudah menghilang. Saat aku balik menatap Krisan lagi, tatapannya semakin memelas, seperti anak kucing yang baru bisa berjalan, mengeong meminta pertolongan.
“Lu nggak bisa kayak gini terus ke gue.” Aku mencoba balas memelas, tapi dia lebih kuat bahkan tanpa satu hurufpun keluar dari mulutnya. Sebelum aku berbicara lagi, tanganku sudah memegang dua bungkus jualannya dan membayarnya.
“Thanks, Ris.” Dia tersenyum, lalu membawa jajanannya untuk ditawarkan pada yang lain. Suatu hari nanti aku akan membalasnya, begitu aku tahu apa yang akan aku jual padanya.
Aku meninggalkan kelas dan bergabung dengan Maura dan Nala di depan kelas sebelah. Alina tidak ikut sesi stalking di istirahat pertama karena dia menghabiskan lebih banyak waktu untuk naik ke atas dari lantai satu daripada duduk di sini. Aku duduk di samping Nala, menawarkan jajanan Krisan pada mereka berdua.
Tidak banyak yang kami lakukan di sini selain, yah, stalking dan melanjutkan fanfiction Maura dan Nala. Sesekali kami membicarakan guru dan tugas yang saking mengerikannya bisa dijadikan sebagai film horor. Dan dari sesi stalking kami, aku menyimpulkan satu hal baru dari Nala: dia menakutkan. Tidak, dia tidak menumbuhkan tanduk ketika marah atau menyemburkan api ketika bersin, tapi dia memiliki satu buku khusus untuk jadwal kapan dan di mana Kak Hafidzh dan Kak Arifah bertemu setiap harinya.
“Senin, istirahat pertama, Kak Arifah bakal keluar kelas pertama terus ke kelas Kak Hafidzh buat ngajak ke kantin. Istirahat kedua mereka bakal ketemuan setelah shalat, di lantai tiga depan lab praktikum.” Dan terus hingga hari Sabtu. Aku ingat wajahnya ketika dia membacakan jadwal tersebut, dan aku berdoa setiap malam agar tidak memimpikan senyumannya itu.
Walau begitu, harus aku akui, tidak banyak yang terjadi. Maksudku, seberapa sering sesuatu yang menarik terjadi di SMA? Apalagi mengenai percintaan dua orang yang saling memasukkan satu sama lain ke dalam friendzone. Hal paling menarik mungkin ketika melihat mereka mengobrol, dan kami melakukan dubbing amatir yang saking jelek dan menggelikannya kami bisa saja masuk penjara.