Spektrum

Akira Q
Chapter #5

Percaya

Oke, kalian ingat saranku untuk tidur sebelum jam sembilan jika pikiran kalian terikat akan suatu hal? Yah, biar kukoreksi sedikit mengenai itu: Itu tidak berguna. Buang saran itu jauh-jauh, bakar kalau bisa! Silahkan begadang sepuas kalian, peduli apa aku—aku ingin tidur sekarang! Jika bukan karena kewajibanku untuk melatih anggota baru, aku pasti tidak akan berada di sekolah pada hari Sabtu.

Aku mengajari delapan orang dalam menulis naskah, lebih tepatnya menganalisis naskah yang kami gunakan setiap penerimaan anggota baru. Departemen dengan anggota kedua paling sedikit setelah tata rias, tanpa ada wakil ataupun senior untuk membantuku, ditambah aku yang selalu canggung jika menghadapi orang banyak yang belum kukenal, ini merupakan suasana paling canggung yang pernah kuhadapi. Aku tidak percaya dulu aku pernah berpikir untuk menjadi guru.

Walau begitu, berbanding terbalik dengan suasana kelas kami, materi pertama tersampaikan dengan baik. Malahan, para anggota baru ini memiliki potensi yang tinggi sebagai penulis naskah. Aku mencoba sekeras mungkin untuk mencari kesalahan lagi walau aku tahu itu hanya buang-buang waktu. Mereka punya bakat. Tidak hanya menemukan kesalahan dalam naskah, mereka juga membuatnya lebih baik hingga rasanya sayang sekali jika ini tidak digunakan untuk tampil.

“Ini...lumayan,” kataku setelah memeriksa hasil kerja mereka.

Munafik! Itu udah sempurna!

“Masih perlu belajar lagi, tapi itu buat materi selanjutnya aja.”

Mereka udah bisa, bego! Ngalahin lu malahan!

Aku memberikan mereka waktu untuk istirahat, membeli jajanan atau mengobrol, tanpa ada batas waktu yang ditentukan. Kantin sekolah tidak buka pada hari Sabtu, tapi ada tukang jajanan di depan sekolah sebagai penggantinya. Aku memilih untuk membeli jualan Krisan saja, salah satu saat-saat langka di mana aku benar-benar bersedia untuk membeli jualannya tanpa ada dorongan dari temanku itu.

Menemukan Krisan di sekolah termasuk mudah untukku. Tinggi badan dan kabut coklat yang menguar darinya membuatnya seperti cerobong asap berjalan. Namun, menemukannya di sekolah pada hari Sabtu jauh lebih mudah lagi. Selain dia satu-satunya yang mengenakan baju kepanitiaan setiap kali datang kemari, lokasi klubnya adalah satu-satunya yang berbeda di antara klub-klub lain: kantin belakang.

Kantin belakang selalu sepi pada hari Sabtu, bahkan murid-murid yang ingin merokok secara sembunyi-sembunyi tidak ada—mereka berani merokok langsung di tengah lapang pada hari ini saja. Meja-meja kayu panjang dengan kursi-kursi panjang di atasnya berjajar rapi, dan semua tempat berjualan kosong, kecuali satu. Hanya ada satu klub yang berada di kantin, yaitu tataboga.

Jika kalian tidak tahu apa itu tataboga, secara singkat itu klub masak. Klub yang mengecewakan karena mereka tidak pernah menawarkan masakan mereka pada kami. Maksudku, mereka masak tapi hanya dimakan sendiri tanpa berbagi? Aku bisa memaafkan Krisan karena dia pernah sekali menawariku dan Aster, tapi secara umum aku kecewa pada mereka.

Mataku memindai tempat masak mereka sebelum menatap mereka dan berdoa dalam hati agar apa pun yang terjadi sebelum aku kemari, tidak ada yang mati. Menyebut tempat itu seperti kapal pecah yang dibakar dua kali dan disambar petir merupakan kebaikan.

Alat-alat masak berceceran di mana-mana. Tepung dan garam bercampur di tanah seperti pasir putih dengan taburan gula bak mutiara di atasnya. Kuning telur menempel di dinding—aku sendiri tidak mengerti bagaimana ceritanya. Dan mereka semua seperti baru mengikuti kontes merias diri dengan bahan memasak yang berakhir dengan bencana.

“Gue nggak bakal nanya gimana ceritanya sampai kayak gini, tapi gue nggak mau denger nama kalian dipanggil pas upacara nanti.” Raut wajah mereka berubah, tapi dengan semua tepung yang menempel di wajah mereka seperti masker itu, aku tidak tahu ekspresi apa yang mereka buat.

“Mau bantu?” tanya seorang murid cewek dengan rambut dikuncir dua bernama Lilis. Tepung menempel rata pada rambutnya seolah dia berubah menjadi nenek-nenek.

Aku menggeleng. “Never do anything for free.”

“Dibayar pake pisang goreng mau?” Lilis menunjuk ke arah dapur dengan jari berlumuran tepung. Dari dalam sana, Krisan keluar dengan sepiring pisang goreng yang baru matang. Tidak jauh berbeda dengan yang lain, dia seperti baru mandi tepung.

Aku melihat sekelilingku sekali lagi sebelum menentukan bahwa tawaran Lilis sama menariknya dengan minum jus jengkol dan bawang putih. “Nggak worth it. Gue mendingan bersihin rumah seminggu.” Itu mungkin yang aku ucapkan, tapi aku berbohong kalau aku bilang pisang goreng itu tidak membuat perutku meraung seperti singa sekarat. “Eh, San. Lu jualan?”

Wajahnya yang terkejut merupakan hinaan untukku. Ya, aku mungkin lumayan sering—yah, sering—komplain tentang dirinya yang menawarkan jajanannya padaku, tapi itu bukan berarti dia bisa memberikan reaksi seperti itu ketika aku bertanya. Kampret.

Dia menggelengkan kepala dan tepung bertebaran dari rambut coklat gelapnya, hampir hitam. Awalnya aku kira dia hanya membersihkan rambutnya seperti model sampo, atau maksudnya dia tidak menjual apa pun hari ini. Bukan keduanya.

“Abis, Ris.”

Butuh beberapa saat untuk ucapannya masuk ke dalam otakku dan menerjemahkannya ke dalam arti paling sederhana. Dan saat aku mengerti maksudnya, reaksiku adalah “HAH?”

“Ada yang ngebeli semuanya,” kata cewek dengan jilbab biru, wajahnya memakai topeng tepung. “Anak baru. Lupa namanya siapa, tapi...” Bahkan dengan semua tepung yang menempel di wajahnya tidak mampu untuk menyembunyikan wajahnya yang merona.

Aku harus mengerjapkan mata untuk memastikan mataku masih berfungsi, karena tidak mungkin aku melihat kabut pink setebal ini dihadapanku. Kabutnya begitu tebal seolah mesin arumanis dimasukkan terlalu banyak gula dan menciptakan awan manis cukup untuk membunuh gajah karena diabetes. Aku hampir melompat ke dalam awan itu sebelum dihentikan oleh ucapan cewek tadi.

“Anak baru? Alvaro?” Para gadis itu mengeluarkan suara seperti tikus mencicit. “Tadi dia minta gabung ke kalian?”

Lilis mendengus, sudah membersihkan sebagian dari tepungnya. “Mimpi aja. Dia gabung, kita jadi klub paling rame di sekolah.” Dia melemparkan tatapan mematikan pada Krisan, tapi dia terlalu polos untuk mengerti betapa dekatnya dirinya dari dibunuh oleh Lilis.

Krisan tidak pernah menjadi orang yang suka melakukan promosi. Aku ingat di SMP dulu, dia mencoba untuk mempromosikan klub badminton, dan dia malah berdiri seperti patung yang lupa bahasa apa yang dia gunakan.

“Kayaknya semua klub udah ngajak dia gabung—olahraga, paduan suara, sains, semuanya.” Krisan mengambil sepotong pisang goreng dan menggigitnya. Air liurku membendung di dalam mulut dan singa di dalam perutku memulai pemberontakan. “Bener-bener semua klub ngerebutin dia. Ini perang antar klub.”

Ucapannya membuatku bergidik, tapi juga lega. Aku tahu Alvaro suka seni, dan karena tidak ada klub melukis di sini, klub drama adalah satu-satunya tempat dia bisa menyalurkan bakat. Namun, aku tidak tahu apa dia melukis karena hobi, atau sesuatu yang lebih. Aku meninggalkan mereka setelah mengambil beberapa pisang goreng dan Lilis berteriak padaku.

Selagi menunggu anak-anak departemenku kembali, aku bersandar di samping kelasku sambil menonton para anak departemen akting diajari oleh Zafri dan Aster. Aku tidak yakin apa yang mereka lakukan dengan tali, salinan skrip, dan maskot babiku, tapi kabut kuning yang berputar menjadi sebuah awan bahagia yang menguar dari mereka semua memberiku lebih banyak jawaban dari yang kubutuhkan. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika Alvaro adalah anggota kami dari awal.

Lihat selengkapnya