Spektrum

Akira Q
Chapter #1

Warna Yang Hilang

Semua orang memiliki warna yang mencerminkan diri mereka. Yang menggambarkan seperti apa mereka itu di dalam sana. Walaupun warna mereka bisa berubah mengiringi suasana hati, mereka akan selalu kembali ke warna aslinya. Begitulah pandanganku pada kehidupan.

Kemanapun padanganku berada, selama ada orang, aku selalu melihat warna-warna itu. Warna-warna itu bukan menempel di sekujur tubuh mereka seperti baru mandi di bak berisi cat, melainkan seperti kabut tipis di pagi hari. Aku bisa melihat jelas wajah mereka, dengan warna yang begitu tipis menguar bagai uap.

Aku memperhatikan bagaimana kabut kuning Zafri berputar di sekelilingnya saat dia menyanyikan satu bagian dari lagu rap yang sedang kami nyanyikan. Pengucapannya yang lancar dan gerakan tangan yang lincah, dia adalah kuning hingga suaranya. Mella dan Aster berpura-pura tergila-gila dengannya.

“Ayo, Ris!” Zafri menunjukku. Aku mengambil bagian rap-ku, dan mereka bertiga sama-sama menggila saat aku melakukannya. Bukan bermaksud sombong, tapi aku dan Zafri adalah duo rapper terbaik di sekolah. Julukan yang kami berikan pada diri kami sendiri.

Mella kemudian mengambil bagian reff-nya. Suaranya bagai lagu pengantar tidur, seperti warna jingga, walaupun dia adalah merah.

“Jujur gue nggak ngerti kalian nyanyi apa, tapi selagi kalian yang nyanyi gue approve aja.” Aster tertawa.

Zafri duduk di sebelahku, bersandar ke tembok. “Lu ikutan nyanyi juga lah. Nggak seru kalo cuma jadi penonton aja.”

“Nggak kayak kita, Zaf, dia urat malunya masih nempel.” Tawanya yang melengking menusuk telingaku, tapi aku juga ikut tertawa. Dan aku serius dengan pernyataan itu.

Murid-murid lalu-lalang di lorong di depan kelas 11 IPA 2, kelas Zafri dan Mella, karena para guru sedang rapat pertama tahun ajaran baru. Mata mereka terarah pada kami saat sedang bernyanyi bersama, karena langkanya penampilan lagu rap. Kami seperti makhluk eksotis di kebun binatang, hanya saja mereka tidak membayar untuk menonton.

“Yah, udah selesai tampilnya?” Kami menoleh pada murid cewek yang baru bergabung dengan kami dan duduk di sebelah Aster. Dia begitu kecil hingga bisa dianggap anak kelas 10. “Gue udah punya tiket VIP padahal.”

“Sori, Syip-Syip. Nggak ada refund ya,” kataku. “Mana si Yani? Katanya bareng sama lu—oh, nggak jadi.”

Mulyani, ketua klub drama, bergabung dengan kami bersama Aldi, sang wakil ketua. Lucu sekali melihatnya seperti kurcaci di samping Aldi, tapi mengingat Aldi adalah yang paling tinggi di klub drama, kami semua kurcaci dibandingkannya. Syifa mungkin bakteri dibandingkan dengannya.

“Sori telat, nyari anak ini dulu.” Mulyani menunjuk Aldi. “Yaudah mulai aja ya, biar cepet selesai juga.”

Mulyani membuka rapat dengan sebuah salam, lalu mulai memaparkan rencana kami untuk besok: perekrutan anggota baru. Kami sudah lumayan sukses di demo ekskul saat masa ospek anak-anak baru, sekarang tinggal membukanya dengan mengunjungi setiap kelas.

Saat sesi saran dan masukan dibuka, kami mengutarakan beberapa hal, seperti meminta bantuan dari kakak kelas dan semacamnya. Namun, Mulyani dan Aldi kukuh untuk tidak meminta bantuan kakak kelas.

“Kita coba dulu sendiri di beberapa kelas, kalau emang kurang efektif, baru kita minta tolong.” Aldi memberikan kabut hijau di rapat ini. Jarang sekali menemukan warna itu di klub seperti ini, di mana kalem dan tenang jauh sekali dari klub ini.

“Setuju sih,” kata Mella. “Tunjukin daya tarik kita dulu. Syukur kalau emang kita punya.”

“Zaf, Ris. Nanti pas kalian promosiin, kalian nge-rap aja bareng. Dijamin banyak yang gabung.” Syifa tertawa, walaupun idenya kami tolak.

“Yah, yang jelas sih, si Aster itu senjata utama kita.” Mereka semua menatapku, terutama Aster, seolah aku baru menyarankan untuk membuat sesajen. Aku melanjutkan, “Kalian nggak lihat waktu kita tampil kemaren? Mereka fokus waktu si Aster muncul aja. Sama si Wildan juga, tapi paling karena badanya super gede.”

“Bener sih. Tadi juga waktu lu jalan ke sini, adek-adek kelas ngobrol dulu sama lu.” Zafri mendukung pernyataanku.

Gumaman setuju mengisi rapat ini, lalu dengan cepat teredam oleh riuh anak-anak yang main bola di lapangan. Namun, Aster menolak.

“Nggak ah. Kok gue malah jadi kayak barang gitu sih?”

Sebelum aku menjawab, Mella membalas, “Gini aja, lu promosi ke kelas yang banyak cowoknya. Bareng gue kalo mau. Lu nanti nggak usah ngomong banyak. Gimana?”

Perhatianku tertarik oleh getaran di sakuku dan aku tidak mendengar jawaban Aster. Aku menarik hapeku dan melihat sebuah notifikasi dari Krisan, teman sekelasku dari kelas 10 dulu.

Lihat selengkapnya