Upacara tujuh belas Agustus telah selesai. Sebagian besar murid bergegas berangkat ke gimnasium. Mereka berniat mendukung tim basket putra Pancawarna yang sebentar lagi akan bertanding.
Tampak beberapa anak lelaki sedang mengangkut barang-barang kebutuhan operasional. Mulai dari drum, kostum maskot, hingga dus-dus air mineral.
Di antara orang-orang sibuk, Lean kelimpungan. "Stik drum mana stik drum?" selorohnya, berlarian menanyakan satu per satu anak yang mengangkut barang.
Sayangnya, hasilnya nihil. Tak ada seorang pun yang tahu di mana stik drum tersebut berada. Lean mengacak rambutnya kasar, ini barang krusial.
Pantang menyerah, Lean kembali berkeliling. Menanyai semua anak yang berpapasan dengannya, tentu saja yang tidak dikenal pun jadi sasaran.
Lean mencegat seorang gadis berambut panjang gemilau dikucir kuda. "Lo lihat stik drum gak?"
Sang gadis mendongak, datar. Tak ada ramah-ramahnya. "Mana gue tahu!" sungutnya kesal.
Deru napas Lean tak beraturan, ia benar-benar kalang kabut. "Santai aja kali. Oke, makasih," sahutnya singkat, hendak beralih ke anak lain.
Namun, panggilan dari Sega membuat Lean mengurungkan niatnya. Bak mentari pagi yang mencerahkan, Sega datang membawa kabar baik.
"Le! Nyari stik drum? Barusan gue nanya Uncol sama Karel, mereka yang bawa katanya," ujar Sega, mengangkat benda pipih miliknya yang menampilkan ruang obrolan antara dirinya dan Karel.
Kebetulan Sega dan Karel cukup dekat karena mereka sempat satu tempat les.
Dan... siapa yang tidak tahu Lean di angkatan ini? Mungkin tidak ada.
Sebab, Lean adalah salah satu orang yang menonjol di angkatan. Jiwa kepemimpinannya tinggi, ia tanggap membantu kalau urusan angkatan. Sifatnya supel, bersedia berkawan dengan siapa pun tanpa memilih-milih.
Kening Lean terlipat, berpikir keras. Lantas menepuk jidat ketika sekelibat kejadian menghantam ingatannya. "Astagfirullah, gue lupa. Barusan gue yang masukkin stik drumnya ke tas Uncol," ucapnya lega, kontan mengusap dada.
Sekejap, raut wajah Lean berubah bingung. "Kok lo masih di sini? Bukannya anak basket harus udah stay?"
Sega terkekeh ringan. Menggulung celana, lalu menunjuk kedua lututnya yang terbalut perban. "Kaki gue cedera, Le. Skip pertandingan tahun ini," akunya dengan ekspresi kecewa, kentara ingin menangis.
Lean mengangguk simpatik. Menepuk bahu Sega sebanyak dua kali, berusaha menyalurkan energi positif. "Semangat Ga! Next time, your turn."
Sega menyamarkan kesedihannya dengan cengiran garing. Tangannya merangkul bahu sang gadis galak—yang sebelumnya menjadi sasaran pertanyaan Lean, dengan akrab. "Yuk, Shes!" ajaknya. Kemudian, menoleh pada Lean. "Duluan ya, bro!" pamitnya sopan.
Ternyata, gadis judes itu adalah Shesha.
Keduanya berbalik arah, berjalan bersama menuju parkiran.
Shesha melongokkan kepalanya, matanya menilik curiga. "Lo nangis, Ga?" Sega mampu berkelit dari Lean, tapi dari Shesha jelas tidak.
Sega melotot, menyeka matanya yang berkaca-kaca dengan lengan. "Kaga, ngada-ngada lo!" sanggahnya. Maklum, ia gengsi.
Shesha mengedikkan bahunya. Terkekeh remeh, telunjuknya teracung tepat di depan sudut mata Sega yang basah. "Bohong," pungkasnya mantap.
Sega berdecak, semakin gencar meluncurkan ribuan pembelaan. Shesha mendengarnya dengan malas-malasan. Sesekali Shesha mencibir Sega yang keterlaluan dramanya. Lebay.
Setidaknya, tujuan Shesha membuyarkan fokus Sega akan permasalahannya berhasil.
Shesha tidak rela bila harus mendapati Sega bersedih karena hal seperti ini. Tidak sepatutnya berkepanjangan.
Lebih baik Sega mengoceh panjang lebar daripada menangis, bukan?
Shesha ikhlas menyumbangkan pendengarannya saat ini. Semoga, Sega tidak melunjak.