Pandangan matanya dingin, tangannya mengepal kuat-kuat. Ribuan sumpah serapah meluncur dari bibirnya yang penuh.
Shesha tidak pernah suka sekolah.
Langkah kakinya mendadak berhenti. Hidungnya kembang kempis. Rupanya, bau rokok telah mengusik pagi harinya yang indah.
Mengikuti naluri alamiah, Shesha mulai menghitung mundur dalam hati.
Tiga.
Dua.
Satu.
"Pagi, Shes," sapa Sega dengan cengirannya yang ramah.
Shesha menutup mata, batinnya mengerang karena geram. Sabar, sabar. "Iya," sahutnya singkat, berusaha berbaik hati.
Sega mengernyit, lekas mengendus seragamnya. Tawanya menyembur. "Bau rokok ya?" tanyanya cuek, bermuka tebal.
Seolah-olah kata 'merokok' adalah hal lumrah yang tidak memacu sensitifitas seorang Serashesha Danya.
Shesha memutar bola matanya malas. Merespon dengan mengedikkan bahu—tanda enggan menjawab, sebab sudah jelas jawabannya pro.
Sega menghela napas gusar. "Sial! Doain gue ya, Shes. Semoga... Bu Kintan gak bakal papasan sama gue," umpatnya, teringat guru BK yang gemar melakukan inspeksi dadakan terhadapnya.
Shesha menginterupsi dengan remeh, "Lagian lo bego. Ngapain sih ngerokok?" Shesha segera menggantungkan ucapannya yang terkesan protektif dan mendiskriminasi.
Usai terhantam realisasi, Shesha langsung mengoreksi. "Ok, tadi salah. Ya, sebenernya gue gak peduli juga, sih. Lo mau ngerokok atau mau apa kek. It's your business, not mine. Tapi please pakai otak lo, dong. Apa ngerokoknya harus banget sebelum sekolah? Jangan sampai orang-orang sekitar lo terganggu karena tingkah lo, Ga," jelasnya menusuk, antara ikhlas dan tidak.
Senyum gemas Sega merekah. Matanya yang legam berbinar-binar. Layaknya respon seseorang yang sedang kagum. "Cantik," gumamnya, tanpa sadar.
Rahang Sega hampir ambruk ke bawah, ia panik. Gimana kalau Shesha marah karena Sega ngomong gitu?
Beruntung, Shesha sudah beranjak beberapa langkah di depan Sega. Sepertinya gadis itu tidak mendengar perkataan Sega.
Sega menunduk, ekspresinya berkilat kecewa. Hari ini gagal lagi.
"Woi! Main ninggalin aja lo, Shes!" protes Sega sembari terkekeh. Mengejar langkah Shesha dengan berlari kecil.
Samar-samar, dadanya yang sesak melega. Tidak apa, Sega.
—
Semuanya benar-benar terjadi sesuai tebakan Shesha. Sekarang, sesosok wanita paruh baya tengah asyik menyeret Sega sambil mengoceh.
Siapa lagi kalau bukan Bu Kintan?
Shesha mengetukkan pensilnya ke atas meja. Mendengus keras. Karena Sega dihukum, maka beberapa jam ke depan akan terasa lebih membosankan dan memuakkan.
Mata Shesha berkelana. Meratapi sekitarnya.
Kelas yang sebagian besar isinya anak ambisius. Plus, cewek-ceweknya yang tukang mengkritisi hidup orang lain. Beberapa cowoknya bermulut lemas, teramat lihai perihal sindir-menyindir—melebihi rombongan cewek-cewek rempong.
Sempurna sudah penderitaan Shesha.
Cuma Aurora sama Sega yang Shesha anggap teman di sini. Malangnya, Sega selalu tertimpa hukuman BK—mungkin nyaris setiap hari. Sega memecahkan rekor memasuki ruang BK secara terjadwal, padahal ia bukanlah seorang guru BK.
Sedangkan, Aurora adalah anggota paskibra garda terdepan. Ia mengambil dispen hari ini untuk latihan persiapan upacara kemerdekaan yang waktunya tinggal seminggu lagi.