Malamnya, hanya beberapa orang yang bertahan di rumah Aruni. Khususnya di halaman belakang yang digunakan menjadi tempat akad nikah. Beberapa anak muda berkumpul di sana menikmati obrolan santai. Sedangkan para tetua lebih memilih beristirahat.
Naya bangun jam 5 sore ketika Marisa mengetuknya berulang kali. Sekarang dia duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja bundar. Dia sibuk makan kue red velvet sambil mendengarkan pembicaran antara Marisa dan temannya.
“Tahulah, Di?” kata Marisa ke temannya.
Naya berhenti mengunyah. Kata ‘tahulah’ itu awal dari pembukaan suatu cerita. Kemungkinan ceritanya bakal seru.
“Haris besok katanya bawa pacar!”
Temannya menutup mulutnya yang menganga. “Haris punya pacar? Kok bisa? Betulan? Kapan?”
“Sebenarnya orang tuanya yang ngenalin. Cocok lalu jadian. Katanya udah sebulan. Besok mau ngenalin ke kita.”
“Kenapa ndak dibawa kesini sih?”
Naya setuju ucapan temannya Marisa. Dia jadi kepo. Haris adalah temannya Marisa, kalau tidak salah mereka pernah bertemu dan Naya penasaran tentang interaksi Haris dan Marisa. Dia kira mereka yang jadian, ternyata tidak. Eh, belum jadian. Masih tahap feelings denial. Naya menggeleng kepalanya mengusir pikirannya.
“Mau kubawa tapi nanti kasian ditanya-tanyain terus sama kalian. Kalian berdua itu kayak detektif,” kata Haris muncul di belakang Marisa.
“Hai Kak Naya,” sapa Haris dibalas lambaian sendok dari Naya.
Tiba-tiba bahu kirinya ditepuk, ia menoleh dan mendapati Syabrina, salah satu bridesmaids dan teman kerja Aruni, berkata, “Naya, kok di sini? Gabung lah sama kami.”
Naya menoleh ke arah meja persegi panjang yang lebih besar yang sebagian besar sudah penuh orang. Tepatnya dia melihat Ketua yang sibuk berbicara dengan Bagas. Dia kesal mengingat kejadian tadi siang. “Aku di sini aja deh. Di sana rame betul.”
Syabrina menarik paksa tangan Naya. “Kamu tuh harus kenalan sama yang lain. Masa kerja dibalik layar terus? Biar mereka tahu Nayanya Aruni gimana.”
“Aku mau sama temannya Marisa aja. Mau jadi senior baek-baek.”
“Kak Naya, nggak papa kakak ke sana,” kata Marisa lembut.
“Tuh kamu diusir halus sama Marisa.”
“Nggak gitu kak Brina,” sanggah Marisa tak enak.
Naya akhirnya berdiri setelah suapan terakhir kuenya. Itupun badannya ditarik berdiri oleh tenaga Syabrina. “Nggak papa, Marisa. Sudah saatnya aku ke gerombolan serigala di sana.”
Pipi kanannya dicubit Syabrina. “Ayo ke sana, Naya. Kami pamit dulu.”
“Aw! Sakit! Sakit! Syabrina!” keluh Naya mencoba melepaskan cubitan Syabrina.
Marisa dan kedua temannya tersenyum membalas ucapan Syabrina yang menarik lengan kanan Naya menuju meja yang tidak disukainya.
***
“Naya! Ke mana aja kamu? Dari tadi nggak kelihatan,” tanya Inge, teman kuliah Aruni.
Naya tersenyum lalu duduk di antara Syabrina dan Inge. Syukurlah jarak dia dan pria bermulut tajam itu jauh.
“Biasa, aku sama adiknya Aruni dulu, Nge,” jawab Naya.
Setelah itu, percakapan mengalir natural. Setengah jam pertama, Naya hanya mendengarkan dan menimpali sesekali pembahasan. Tentang bridesmaids Aruni ada enam orang. Termasuk dia menjadi tujuh. Pertama, dia teman sekelas dari kelas X SMA. Kedua, Dalilah teman Aruni di masa OSIS SMA. Sejujurnya, Naya tidak terlalu dekat dengan Dalilah karena Dalilah membangun dinding tebal. Naya sudah mencoba akrab tapi dibalas seadanya. Sampai sebulan lalu Naya menanyakan mengapa, perempuan itu hanya menjawab ‘kita nggak cocok, itu aja’.
Kedua, teman kuliah Aruni. Karena Aruni easy going maka Rosa, Inge, dan Nanda setia kawan menjadi bridesmaids rela mengambil cuti lalu terbang antar pulau ke sini. Naya cocok dengan mereka bertiga.
Sisanya teman kerja Aruni, yaitu Syabrina dan Rori. Syabrina yang menjadi lebih dekat karena mereka punya selera sama, kuat nyemil. Rori sudah menikah dengan teman sekantornya, Alwin. Dan Alwin disuruh menjadi pendamping pengantin pria biar jumlah antara masing-masing pendamping pengantin pria dan wanita sesuai.
Naya melirik ke arah seberang di mana Alwin duduk di sebelah kiri Ketua.
Dia mengalihkan tatapannya hingga tanpa sengaja pandangan mereka bertemu. Ketua menatapnya dengan mata tajamnya yang membuat Naya makin emosi mengingat perkataan pria itu.