“Naya, bangun.”
Tepukan pelan mendarat di bahu Naya berhasil membuatnya sadar namun kelopak matanya terasa berat. Tenggorokannya terasa kering. Dia ingin minum.
“Naya? Udah bangun?”
“Salman?”
“Iya, ini Salman.”
Naya mengucek kedua matanya. “Jam berapa sekarang?”
“Jam delapan lewat lima belas menit,” jawab Salman riang.
Naya langsung membuka matanya lebar-lebar dan duduk tegap. Dia terkejut mendengar ucapan teman SMA-nya sampai Naya menarik pergelangan tangan kiri Salman untuk melihat jelas jarum jam.
Benar kata Salman. Jam 8.15.
Salman mengambil bantal dan selimut yang jatuh karena aksi mendadak Naya. “Bisanya kamu tidur di sini. Nyenyak betul lagi.”
Naya sadar dia di sofa teras belakang. Sofa panjang yang biasa jadi tempat bersantai membaca buku. Dia bertanya-tanya mengapa dia disini. Ada selimut dan bantal juga. Rasanya terakhir dia tertidur di kursi dengan posisi menunduk di meja. Mengapa dia tiba-tiba di sini?
“Naya? masih ngumpuli nyawa kah?” tanya Salman.
“Aku tertidur di sini?”
“Lah kok nanya aku. Aku yang harusnya nanya kenapa nggak masuk ke dalam. Malah tidur di luar.”
Naya mengedarkan pandangannya. Sudah mulai banyak orang. Dia mengedipkan matanya berulang kali. Dia kesiangan dan rumah ini mulai ramai.
Naya mendesah karena malu. Tapi dia sadar bukunya tidak di sampingnya. Dia mulai kebingungan dan itu mempengaruhi Salman untuk ikutan bingung.
“Nyari apa, Naya?”
“Kamu lihat buku yang covernya pemandangan desa yang ada sawahnya?”
“Nggak.”
Naya menggaruk kepalanya. “Waduh. Tolong cariin ya. Mungkin di meja sana, Man.”
“Udah bangun, Naya? ini aku bawakan air putih anget untukmu,” ucap Aruni menghampiri mereka.
Naya menerimanya lalu meminumnya sampai habis.
“Kamu begadang sampai jam berapa?” tanya Aruni.
Salman ikutan kaget. “Kamu begadang lagi, Naya?”
Naya merasa segar setelah meneguk segelas air putih hangat. “Jam tiga. Bentar Man, sebelum kamu menasihatiku kali ini aku begadang gara-gara Aruni.”
Salman menengok ke Aruni. Aruni hanya menyengir saja.
Setelah itu Aruni mengajak Naya untuk ke kamar Marisa untuk siap-siap. Naya memperhatikan wajah Aruni yang sedang di make up. Dia sengaja berhenti sebentar untuk turun melihat Naya sudah bangun belum. Naya tersenyum kecil karena tindakan sahabatnya.
“Aruni,” sapa Ketua saat mereka bertemu di anak bawah tangga.
Naya menunduk tak ingin melihat pria itu. Biarkan saja Aruni mengobrol dengan Ketua tanpa dia ikut nimbrung.
“Yaudah, okelah. Kalau Bagas setuju akupun juga,” kata Aruni mengakhiri percakapan.
“Oke.”
Ketua turun tangga melewati Naya yang masih melihat potret di dinding. Naya merasakan tabrakan kecil antara bahunya dan bahu pria itu saat turun tangga.
***
“Bagaimana pendapatmu tentang Ketua?” tanya Aruni di sela-sela make up artist mengatur rambutnya.
Naya yang keluar dari kamar mandi duduk di tepi ranjang. “Hah?”