Matahari sudah tinggi ketika Mikoto membuka matanya. Cahaya menyelinap dari celah jendela kusam kamarnya, menerpa wajah yang masih lebam di bagian pipi kiri.
Sakitnya belum hilang. Tapi rasa malunya jauh lebih menyiksa. Mikoto bolos kerja hari ini. Setelah kejadian pagi tadi, Ia tertidur sejenak.
Setelah menenangkan diri, Mikoto terduduk perlahan, menyandarkan punggung ke tembok dingin. Suara di luar terdengar samar—anak-anak bermain, tawa kecil mereka menggema di gang sempit.
Satu suara menarik perhatiannya. Memaksanya untuk berdiri dan membuka penuh jendela kamarnya.
“Mas Miko! Mas Miko!”
Mikoto menoleh, sedikit ragu. Dari balik jendela, ia melihat seorang anak perempuan—masih kecil, mengenakan kaos bergambar kartun, rambut dicepol dua. Ia melambai sambil tertawa riang.
Namanya Yuna, anak tetangga dua pintu dari kamar kosnya.
Mikoto tersenyum kecil, kikuk. Ia mengangguk pelan.
Tiba-tiba Yuna berlari mendekat ke jendela, lalu mengangkat tangannya yang menggenggam sesuatu.
“Ini... buat Mas Miko!” katanya, menyerahkan secarik kertas gambar berisi bentuk rumah dan pohon, dengan matahari tersenyum di atasnya. Ada dua orang digambar berdampingan—mungkin dirinya dan Mikoto?
“Kenapa ngasih ini?” tanya Mikoto, pelan.
Yuna menjawab polos, “Soalnya kemarin Mas Miko kelihatan sedih banget. Jadi aku gambar yang ceria!”
Mikoto tercekat. Ia mengambil gambar itu perlahan, mengangguk pelan. Ternyata wajah suramnya selama ini diawasi oleh Yuna. Atau mungkin seluruh penghuni kos di tempatnya tinggal?
“Terima kasih, Yuna...” katanya, nyaris berbisik. Anak itu tersenyum, lalu berlari kembali ke halaman bermain.
Di dalam kamar, Mikoto menatap gambar itu lama sekali. Jantungnya terasa hangat—tapi bersamaan dengan itu, rasa bersalah menyusup.
"Kalau dia tahu siapa gue sebenarnya... mungkin dia nggak bakal senyum secerah itu."
Sore menjelang. Langit perlahan berubah oranye.
Mikoto duduk di depan kamarnya, mencoba menyeduh kopi sachet didapatnya dari kantin di pabrik kemarin. Ia masih mengenakan baju yang sama sejak kemarin. Ketika ia mengangkat gelas, suara langkah menghampiri.
“Miko, Lo udah baikan?"
Ahmar berdiri dengan baju rumah lusuh dan rambut acak-acakan. Di tangannya ada sebungkus roti sobek dan dua botol minuman teh. Ia duduk di samping Mikoto tanpa banyak basa-basi, langsung menyodorkan sebotol.
“Gue nggak mati,” sahut Mikoto, setengah bercanda, setengah putus asa.
“Kalo hidup, hidup sekalian. Jangan separuh-separuh begitu, hahaha.” balas Ahmar.
“Lo nggak perlu cerita. Gue juga nggak paham sepenuhnya. Tapi gue tahu rasanya kalau dunia serasa pengen nginjek kepala lo tiap bangun tidur.”
Mikoto terdiam. Tak ada yang dibalas, tapi dalam diam itu ia merasa sedikit... terdengar.
Malam turun cepat. Di dalam kamar, Mikoto kembali sendirian.
Cermin kecil di tembok menangkap bayangannya sendiri—kusut, pucat, mata cekung. Tapi ia masih memegang gambar dari Yuna tadi siang.