Pagi itu tidak datang dengan cahaya. Mikoto merasa seperti terjebak di bawah langit abu-abu yang menekan dari segala arah.
Untung hari ini hari Minggu—pabrik libur. Tapi hatinya jauh dari kata istirahat. Justru ini hari yang membuat napasnya terasa sesak.
Ia duduk di sisi kasur, menatap dompet lusuhnya yang hanya berisi selembar uang 10 ribu. Matanya tampak kosong, tapi pikirannya gaduh. Hari ini seharusnya ia menemui Jordy, seperti ancaman kemarin. Tapi dengan uang segitu, bahkan buat ongkos pun tak cukup.
Akhirnya, Mikoto berdiri perlahan. Kakinya masih lemas, tapi ia mulai menyibukkan diri. Ia merapikan lantai, mengangkat kasur tipis, lalu menyapu debu yang menumpuk di bawah lemari plastik.
Saat itulah sesuatu menggelinding keluar.
Sebuah koin logam tua.
Warnanya sudah pudar. Bagian pinggirnya sedikit karatan. Tapi Mikoto langsung mengenalinya. Ia jongkok, mengambil koin itu, lalu duduk diam di lantai, menatapnya lama.
“Kamu lagi…”
Koin itu adalah sisa masa lalu. Bukan uang biasa, tapi koin dari mesin jackpot manual yang pernah ia mainkan diam-diam saat remaja. Waktu itu ia diajak kakak kelasnya nongkrong di belakang warnet tua. Diberi satu koin untuk “coba keberuntungan.”
Pergaulan Mikoto sejak dulu memang bisa dibilang cukup buruk. Ia terkenal sebagai introvert yang pandai bergaul. Suka kesendirian, namun masih butuh keramaian.
Dan sejak itulah... Sejak ia menerima koin itu dari kakak kelasnya, hidupnya perlahan digiring ke jurang. Berawal dari mesin jackpot manual, lotre, hingga sekarang tergiring ke judi online.
Tak hanya itu saja, segala permainan seringkali ia tarik ke ranah judi. Misalnya permainan kartu, hingga ajang olahraga seperti sepakbola.
Namun jauh dari hari itu, Mikoto juga pernah menjadi pribadi yang baik. Kini, ia merindukan saat-saat seperti itu.
“Dulu cuma main. Sekarang… gue ngutang 20 juta buat yang beginian.”
Mikoto menggenggam koin itu kuat.
“Dulu lo bikin gue deg-degan karena penasaran. Sekarang karena ketakutan.”
Langkahnya berat, tapi akhirnya ia keluar.
Kantor pinjaman itu terletak tak jauh dari rumah. Dan meski kakinya menolak, hatinya tak mau lari lagi.
Bangunan itu kecil, dengan papan nama setengah lepas dan dinding cat pudar. Tapi di dalamnya, ada nama-nama dengan utang... dan hukuman.
Saat Mikoto masuk, Jordy sedang duduk sambil menggulir layar ponsel. Melihat hal itu, Jordy yang tadinya memasang ekspresi bosan, kini tersenyum sinis.
“Lah, dateng juga lo?” Jordy mendecak, berdiri perlahan. “Nggak nyangka. Gue udah siap ngejemput lo dari tadi.”
Mikoto tak banyak bicara. Hanya mengangguk. Ia paham, untuk posisinya sekarang, bicara berlebihan hanya membuatnya semakin dipermalukan.
“Gue dateng. Tapi gue nggak bawa duit.”