Szomoru vasarnap* szaz feher viraggal.
Hari Minggu yang janggal. Aku menatap laju angin yang kesiurnya tidak beraturan. Pucuk pohon cemara yang ditengahi rintik gerimis melambai-lambai seolah tangan-tangan yang hendak mengucapkan selamat tinggal bagi sang kekasih hati yang harus pergi dengan tergesa. Kutatap buram kaca jendela, serentetan peristiwa mengembun, samar.
“Harusnya kau tak perlu banyak berharap padaku. Kau tahu, apa yang kulakukan padamu sudah membuat dirimu hancur sedemikian rupa. Bukankah itu artinya kau harus segera mengambil sikap? Tolonglah, jangan buat diriku seolah paling bersalah dalam hal ini. Kau punya pilihan untuk bahagia, sementara aku, tidak seleluasa itu. So … atas alasan apa kau masih harus menungguku? Ini tidak benar, kau berhak menentukan pilihan. Apa pun itu,”katamu. Aku hanya mematung, beku.
“Apa pun itu, aku akan menunggu kamu pulang. Tidak hari ini, tidak pula esok lusa. Kapan pun kamu mau, aku ada, dan selalu di sini. Kau harusnya maklum,” kataku. Ia terlihat jengah, sekaligus tidak terima.
“Perempuan bodoh!” katamu. “Menyesal aku sudah terlalu mencintaimu.”
Hari Minggu yang janggal. Sedari pagi gerimis membuatku terkurung dalam rumah, juga dalam ingatan-ingatan tentangmu yang terlalu bebal untuk kutepisjauhkan. Ini hari kedelapan belas semenjak dirimu tak lagi sudi menjadi hari-hari ceriaku. Tak sudi lagi. Duniamu kini abu-abu seperti mimpi yang terlambat dirangkai.
Ada ruang sepi yang kini kerap bercokol dalam ingatan. Hari-hari kebersamaan yang telah lewat menjadi kenangan janggal yang membuat diriku hidup dalam ketidakpastian. Ingin melangkah maju tapi enggan. Ingin tetap dengan kenangan-kenangan itu dan selalu menjadi bagian kisah manis itu tapi membuatku jatuh dalam kepedihan. Ini tak mudah. Sungguh tak mudah.
“Aku akan mati bila kamu jauh dari rengkuh tanganku. Bahkan kematianku akan jauh lebih cepat seandainya kau tak sedikit pun memberiku kesempatan. Apa itu yang kau inginkan?” rajukku. Kamu hanya menggeleng, tanpa kata, tanpa tatap iba yang bisa kamu tunjukkan tatkala aku merajuk.
“Kematian tak akan menyelesaikan masalah apa-apa, bukan? Yang kau butuhkan hanya mengikhlaskan diri bahwa aku, bukanlah orang yang benar-benar pantas untukmu. Itu yang harus kau pikirkan,” katamu. Kamu bergegas, menjauh, melambaikan tangan, lantas menghilang di keriaan tetesan hujan sore itu.
Hari minggu yang janggal. Alunan lagu Gloomy Sunday menyeruak masuk ke ruang-ruang sepi diriku, bersama riuh gerimis, irama ritmis kesiur angin yang menyentuh daun-daun, menggugurkannya, lantas mengempaskanku dalam kepedihan yang panjang. Aku berusaha menahan dedak nyeri di ulu hati, menahan laju air mata yang menonjok-nonjok di sudut mata. Mengingatmu ternyata bisa sesakit ini. Dan aku tak akan lagi mampu melewati itu semua. Aku memang perempuan bodoh, seperti katamu. Bodoh. Memang. Tidak bersamamu adalah pilihan yang sangat sulit.
“Jika tidak lagi bisa bersama, izinkan aku pergi jauh. Jauh, menjelma mimpi-mimpi yang bisa dengan mudah masuk ke dalam tidurmu. Aku akan melakukan itu, Bas,” bisikku. Di luar masih gerimis. Tidak ada siapa pun di sekitarku. Semua seperti menghilang dimakan perangai cuaca yang tidak lagi bersahabat denganku.
I was waiting for you, my dear, with temple prayer
Dreaming of Sunday morning
My sorrow has returned without you swinging
Since then, Sunday has always been sad