Beberapa tahun silam, Papa membelikan aku boneka dari pasar loak. Saat itu kondisi ekonomi keluargaku belum terlalu baik. Boneka yang kemudian kuberi nama Mary itu adalah hadiah ulang tahunku yang kesepuluh. Kini boneka itu menjadi boneka kesayanganku, walaupun aku sudah berusia empat belas tahun. Aku menyayanginya seperti menyayangi diriku sendiri dan membelai rambutnya ketika aku sedang tidak ada pekerjaan. Aku rasa Mary senang-senang saja kuperlakukan seperti itu. Aku tahu dia boneka atau lebih tepatnya boneka yang kuperlakukan seperti manusia.
Walaupun boneka itu dibeli di pasar loak, kondisi fisiknya masih sangat baik. Topi bundar berwarna merah menutupi rambut panjang blonde-nya yang tergelung. Bajunya berwarna merah dengan kerah baju berenda-renda. Pita merah yang kubuat sendiri kupasang di bagian tengah kerah. Dan, lihat sepatunya! Berwarna merah mengilat. Aku heran. Bisa-bisanya boneka seperti ini dijual dengan harga murah di pasar loak. Hanya dengan lima belas ribuan aku bisa mendapatkannya. Benar-benar harga yang menurutku tidak pantas untuk boneka secantik ini.
Tapi entahlah, mungkin inilah yang orang katakan sebagai rezeki. Akhirnya aku percaya juga bahwa kalau sudah rezeki itu tidak ke mana. Sampai kemudian aku dan kakak perempuanku, Gretha, melakukan sebuah permainan, yang kukira adalah permainan konyol dan fiktif belaka. Tapi nyatanya, permainan itu jugalah yang membuat segalanya berubah. Bloody Mary![]