Pindah sekolah adalah hal yang menyebalkan. Besok, aku akan benar-benar belajar di kelas baruku, IX-II. Sialnya, kelas itu berada paling ujung. Semoga saja tidak mempengaruhi keadaan kelas.
Aku berjalan menyusuri koridor sekolah. Pintu kelasku sudah terlihat jelas. Beberapa murid tampak keluar masuk.
Kulirik arlojiku. Aku benar-benar nyaris terlambat. Kalau saja Tuhan mempercepat waktu satu menit saja, maka tamatlah segalanya. Yang lebih konyol, aku melakukannya di hari pertama masuk sekolah. Syukurlah hal itu tidak terjadi.
Aku berhenti melangkah tepat di depan pintu kelas. Mataku menerawang. Kelas ini tidak terlalu buruk, walaupun bagiku terlihat seperti kandang tikus penuh kotoran yang digeletakkan begitu saja di pinggir jalan. Bagaimana dengan orang-orangnya? Entahlah. Namun, sepertinya aku tidak begitu menyukai mereka.
Ada sebuah bangku kosong di pinggir jendela, di baris ketiga. Aku tersenyum kecil. Benar-benar pas, batinku senang. Segera kuhampiri bangku itu dan mendaulatnya sebagai bangku tetapku. Jika ada yang menempatinya, aku tidak akan segan mengusirnya dengan segera.
Kriiing ... kriing ... kriiing ...!
Benar-benar pas, lagi-lagi aku membatin hal yang sama. Tak lama kemudian, seorang wanita berpakaian rapi yang sepertinya wali kelas IX-II masuk. Penampilannya tidak terlalu buruk, tetapi terlalu sederhana.
Wanita itu berdeham sebentar, lalu berkata dengan lantang, “Selamat pagi, Anak-Anak. Saya Bu Sherin, wali kelas kalian yang baru di kelas IX-II. Saya mengajar mata pelajaran Biologi. Hari ini, kita akan menghabiskan waktu untuk perkenalan diri saja, oke?” katanya ramah.
Menyebalkan, desisku dalam hati. Kenapa tidak langsung belajar saja, sih?
“Baiklah, dimulai dari absen pertama, Alea ....”
Aku mendengus. Sudah bisa ditebak, aku mendapat absen terakhir. Hal ini akan terus terjadi hingga aku kuliah nanti. Membosankan.
“Absen terakhir, Ze ... Zes ... Zez ....”
Aku mendengus lagi, lalu maju dengan cepat. Bu Sherin salah menyebut namaku, kejadian yang sama seperti guru-guru lainnya di SD-ku yang dulu.
“Namaku Zezslhean Bryna. Panggilanku Hean. Aku dari SD di luar kota. Jadi, aku tidak perlu menyebutkannya karena kalian tidak mungkin mengetahuinya. Lagi pula, itu tidak penting. Terima kasih.”
Aku kembali lagi ke bangkuku. Setelah melakukan berbagai hal tidak penting, akhirnya sekolah ini memberi waktu murid-muridnya beberapa menit untuk beristirahat. Saat yang aku tunggu.
“HEI!”
Aku terbatuk begitu seseorang yang tidak tahu sopan santun itu menepuk pundakku dan berteriak keras tepat di telingaku. Kutolehkan kepalaku dengan galak. Namun, gadis itu malah tersenyum ke arahku. “Hei, ingat namaku? Aku Alea. Kita keliling sekolah ini, yuk!”
Aku tidak langsung menanggapi ajakannya, melainkan melihat sekeliling dulu. Kemudian, aku menatap gadis itu lagi. “Kenapa kamu mengajakku?”
“Hah?”
“Masih banyak murid lain di kelas ini, tapi kenapa kamu memilih untuk mengajakku?” ujarku, memperjelas maksud pertanyaanku.
Alea mengangkat bahu. “Semacam feeling, mungkin,” katanya.
Aku mengerutkan kening.
“Ah, sudahlah. Ayo cepat, keburu waktu istirahatnya habis!” Dia menarik tanganku, membuatku merasa tidak ada pilihan lain.
Sekolah ini cukup luas, walaupun hanya terdiri dari dua lantai. Fasilitasnya lengkap, perpustakaannya luas dan nyaman. Itu bagus.
Tunggu. Aku melihat sesuatu di ujung koridor lantai dua. Sebuah ruangan yang ditutup pintunya, dan digembok.
Keningku mengernyit. “Ruangan apa itu?” ujarku, menarik tangan Alea dengan tangan kiriku dan menunjuk ruangan itu dengan tangan kananku.
“Jangan ditunjuk!” Alea cepat-cepat menurunkan tanganku dengan kasar.