Spooky Stories: Haunted School

Noura Publishing
Chapter #3

Kehidupan dalam Lukisan

“Owh!” erangku kesakitan. Aku langsung berdiri dan membetulkan bajuku yang berantakan sebelum akhirnya menyadari bahwa ternyata diriku sudah tidak lagi berada di dalam museum tua Belanda. Lalu, di mana aku sekarang?

Di depanku berdiri sebuah bangunan besar, tapi berkesan seram. Bangunan ini tidak dicat sehingga temboknya berwarna abu-abu—warna semen. Warna abu-abu dengan hiasan lumut itulah yang menambah kesan angker bangunan ini. Bukankah biasanya rumah atau bangunan tua angker di film-film selalu digambarkan berwarna abu-abu dan dihiasi lumut?

Ada dua gedung berbentuk balok di sini. Gedung-gedung itu berdampingan, terletak berhadapan dengan pagar yang berwarna hitam. Aku tidak tahu gedung apa itu.

“Hei, kamu!” panggil sebuah suara dari belakang.

Aku menoleh. Di belakangku ada seorang perempuan yang lebih tinggi dariku. Sepertinya dia berusia lebih tua dariku. Rambutnya keriting seperti mi setengah matang. Dan ... hei, lihat seragamnya! Seragamnya sama persis dengan seragam yang kukenakan sekarang.

“Ngapain kamu di sini? Jam pelajaran sekolah sudah dimulai. Cepat masuk,” perintahnya tanpa berhenti. Dia terus berjalan meninggalkanku.

“Apa-apaan ini? Sekolah? Kalau begitu, bangunan yang berada di hadapanku sekarang adalah bangunan sekolah, dong? Sejak kapan aku menjadi siswa di sini?!”

“Hei, kau! Tunggu aku!” Aku berlari mengejarnya. Aku melakukan itu karena aku ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi padaku sekarang. Mungkin saja dia tahu sesuatu.

Orang itu menolehkan kepalanya. “Hei, tidak sopan kamu menyebut kakak kelasmu dengan ‘kau’. Memangnya kamu siapa, hah?” Dia membentakku. Kedua tangannya ditaruh di samping pinggang.

“Eh, maaf, Kak ... maaf. Mmm ... kalau boleh tahu, saya sedang di mana, ya, Kak?”

“Aneh kamu. Masa sekolah sendiri enggak tahu. Sudah, saya tidak ada waktu untuk bercanda.” Dia kembali berjalan memimpin di depan. Aku pun mengikutinya dari belakang. Daripada aku harus berdiri sendirian di halaman sekolah yang menyeramkan.

Namun, saat aku berada di koridor lantai 1, terdengar teriakan-teriakan histeris dari dalam kelas. Aku merasa ketakutan. Teriakan itu sangat memekakkan telinga. Sesekali aku mendengar tawa licik.

“Gawat,” desis kakak kelas itu, membuat alisku mengernyit.

“Gawat kenapa, Kak?”

“Kamu tunggu di sini! Kakak mau masuk ke kelas dulu!” katanya lagi sambil menoleh ke arahku. Dia mempercepat langkahnya menuju sumber suara.

Aku ingin berlari mengikutinya, tapi ada seorang gadis berkursi roda yang menahanku agar tidak berlari. Aku sempat memberontak. Tapi, semakin aku memberontak, semakin kencang pula dia menahanku. Aku menoleh dan membentak gadis itu.

“Hei, are you crazy? Untuk apa kamu menahanku? Apa urusanmu denganku?”

“Aku hanya ingin menolongmu supaya kamu tidak masuk ke pesta setan,” ujar gadis itu.

Aku tercengang. “Pesta setan? Apa maksudnya?”

Aku menoleh ke kakak kelas tadi. Dia masih berjalan, tapi lama-kelamaan tubuhnya seperti transparan. Hingga akhirnya, tubuhnya benar-benar menghilang.

Deg.

Siapa kakak tadi?

“Pe … pesta se … tan? Maksud kamu apa?”

Mendengar pertanyaanku, gadis itu hanya tersenyum kecil dan menggerakkan kursi rodanya ke suatu tempat. Senyuman itu misterius bagiku. Apalagi sorot matanya yang besar itu sangat tajam. Entah kenapa, semua perkataannya berhasil membuat rasa penasaranku sirna begitu saja dan aku mengikutinya.

“Ngomong-ngomong, nama kamu siapa? Kok aku baru melihatmu di sini? Memangnya kamu murid baru, ya?” tanya gadis itu.

“Mmm … terserah, deh, kamu mau percaya atau tidak. Sebenarnya aku juga enggak tahu kenapa tiba-tiba aku masuk ke dalam sini. Tadinya aku sedang mencari rombongan sekolahku, tapi aku malah bertemu dengan jalan buntu dan masuk ke sebuah lukisan bangunan yang sama dengan sekolah ini!” ceritaku panjang lebar. Gadis itu tampaknya mengerti. Terlihat dari tampangnya yang serius.

“Mungkin ... kau terpilih untuk menjadi pahlawan bagi Haunted School ini. Kau akan bisa keluar dari sini jika kau sudah menyelamatkan sekolah ini dari pertarungan besar nanti!” tuturnya.

“Kenapa harus aku? Kenapa kau tidak memilih orang lain?”

“Takdir yang memilihmu. Bukan aku.”

“Lalu, apa yang harus aku lakukan?”

“Kau harus menjalani hari-harimu sebagai siswi di sini. Anggap saja ini sekolah barumu. Kau bisa ke ruang kepala sekolah dan menyamar sebagai siswi baru. Apa perlu aku antar kau ke ruang kepala sekolah?” Dia memberiku sebuah penawaran. Aku menganggukkan kepala.

Dia segera berjalan di depanku. Bunyi sepatu kami terdengar menggaung. Ternyata ruangan kepala sekolah berada di lantai 2. Begitu sampai di depan ruang kepala sekolah, dia berhenti dan berpamitan padaku.

“Sekarang aku harus pergi. Semoga berhasil menyelesaikan misimu! Masuklah kau ke dalam. Dan, ingat, jangan pernah kasih tahu siapa kamu dan apa maksud kamu datang ke sini. Oke?” ujarnya.

“Mmm ... baiklah. Lalu, kau ... mau ke mana?” tanyaku. Aku takut ditinggal sendirian.

“Tidak penting. Sekarang kau masuk ke dalam!” katanya, terdengar seperti sedang memerintah.

Aku menganggukkan kepala dan meneguk ludah, lalu mengetuk pintu ruang kepala sekolah. Setelah ada sahutan dari dalam yang mempersilakanku masuk, barulah aku membuka pintunya dan melangkah ke dalam ruangan.

“Selamat pagi, Bu,” sapaku sopan.

“Selamat pagi. Ayo, silakan duduk,” beliau menyambutku dengan senyuman ramah. Aku mengangguk dan langsung duduk di kursi yang berada di depan mejanya.

“Ada urusan apa, ya, Nak?” Bu Kepala Sekolah menurunkan kacamatanya dan memperhatikanku dengan saksama.

“Begini, Bu, saya murid baru di sini dan belum mendapatkan kamar asrama. Jadi, maksud saya ke sini, saya ingin meminta kunci kamar, Bu,” sahutku agak takut sebenarnya.

“Oh, baiklah, ini kuncinya,” Bu Kepala Sekolah mengambil sesuatu dari dalam laci dan memberikannya kepadaku. Di situ tertera angka 13. Kalau begitu, aku mendapatkan kamar nomor 13?

“Ya sudah. Kalau begitu, terima kasih, ya, Bu,” balasku lalu pergi meninggalkan ruangan kepala sekolah.

Di depan, aku langsung disambut oleh suasana sepi. Aku hanya mendengar sayup-sayup suara guru yang sedang mengajar di masing-masing kelas. Aku turun menggunakan tangga. Aku teringat bahwa bangunan asrama itu terletak di samping bangunan sekolah. Kalau begitu, bangunan yang lebih tinggi itu adalah asramanya?

Lihat selengkapnya