Rasa kantukku dikalahkan oleh rasa penasaran terhadap sesuatu yang mengganjal di mulutku. Aku terpaku pada cermin besar di kamarku. Mataku tampak berair selama beberapa menit karena pemandangan mengerikan yang kulihat. Aku berlari menyongsong lemari es yang teronggok kaku di sudut ruang makan, lalu membuka pintunya dan merasakan hawa dingin air yang membeku. Aku segera mencengkeram sebatang cokelat karamel dengan selipan kacang-kacangan legit di dalamnya, lalu melihat daftar komposisinya. Mungkin saja ada bahan berbahaya di dalam sana.
***
“Kau telah menghabiskan 5 bungkus cokelat semalam, Jake.” Ibuku merebut cokelat dalam genggamanku sambil berkacak pinggang. “Bahkan, kau lupa menyikat gigimu. Kau tidak boleh makan cokelat lagi selama beberapa hari.”
Nah, itu dia yang kubutuhkan. Menyikat gigi. Aku lekas pergi ke kamar mandi dan menggosok permukaan gigi dengan bulu-bulu sikat gigiku yang berbentuk mobil-mobilan. Aroma mint menyengat hidungku. Setelah merasa gigiku sudah cukup bersih, aku segera berkumur-kumur dengan santai, berharap akan ada perubahan drastis pada deretan gigiku. Namun, ketika aku kembali becermin, rupanya bentuk gigiku masih sama. Bertaring.
Mungkin semua orang memang mempunyai gigi taring untuk mengoyak makanan. Namun, ukurannya normal, tidak seperti gigiku pada hari ini. Bukan hanya keempat taringnya yang menakutkan, gigi-gigi kelinci dan gerahamnya juga menjijikkan karena tampak terlalu besar. Setahuku, gigi taring yang kupakai kemarin warnanya adalah merah muda. Namun, sekarang warnanya justru serupa dengan gigi asliku. Aku juga ingat, sepertinya aku belum sempat melepasnya dan terbawa sampai tidur. Sialnya, mengapa tidak bisa dilepas? Mengapa letak susunannya sama persis dan cocok dengan gusiku? Mengapa aku tampak begitu mengerikan?
Aku akhirnya merengek pada ibuku untuk tidak masuk sekolah. Lihat saja deretan gigi ini. Orang-orang pasti tidak akan sanggup melihatnya lebih dari dua detik. Aku pasti akan sangat malu jika itu sampai terjadi. Ibuku hanya berkata bahwa jika hari ini aku pergi ke dokter gigi, semua masalah akan selesai. Dia berpikir aku berbohong karena ingin membolos untuk bermain game di komputer seharian.
Oh, ini semakin buruk. Mendengar namanya saja kepalaku sudah pusing. Dia pasti akan semakin melarangku memakan ini-itu. Lagi pula, aku sudah tahu akan pergi ke mana dalam mengatasi hal ini. Seseorang di toko suvenir pasti memiliki penyelesaiannya. Ya, pasti begitu.
Pada akhirnya, ibuku berhasil memaksaku dengan cara lama.
“Jika kau tidak pergi ke sekolah, aku akan memanggil dokter gigi itu ke sini. Mungkin dia bisa mencabuti gigimu satu per satu.”
***
Aku melangkah masuk ke kelasku dengan berkomat-kamit dalam hati, berjanji pada diriku sendiri untuk tidak membuka mulutku terlalu lebar agar teman-temanku tidak bisa melihat bagaimana wujud gigi anehku. Bagus sekali, tidak ada hal buruk yang terjadi selama aku berjalan menghampiri tempat dudukku. Aku melirik ke sekeliling mencari sosok Susan. Tampaknya dia belum datang.
Beberapa saat kemudian, Miss Lily datang membawa sebuah globe besar ke depan kelas. Dia mulai mengabsen kami satu per satu. Aku mengambil ancang-ancang untuk tidak berseru, dan hanya mengacungkan tangan ketika namaku dipanggil. Kemudian, berlanjut sampai absen terbawah dan ketika itu nama Susan terlewati. Aku terheran dan mengurungkan diri untuk bertanya mengenai hal itu karena akan membuat mulutku terbuka.
“Sepertinya, teman kita Susan tidak dapat bergabung bersama kita hari ini,” terang Miss Lily begitu selesai mengabsen.
Franky bertanya pada Miss Lily tentang alasannya, tetapi Miss Lily hanya menggelengkan kepala karena tidak mengetahui lebih dari itu.
Aku memukul pelan mejaku. Kesal. Seharusnya anak itu masuk sekolah pada hari ini dan membuat dirinya tetap menjadi bahan olok-olok sehingga aku tidak perlu menggantikannya. Kemudian, aku bersandar di tembok dekat jendela dan membayangkan hal menyenangkan lain saat memandang ke arah lapangan.
Miss Lily membuka topik pelajaran dengan serius, sementara aku mulai merasa bosan. Sejak tadi, aku hanya diam dan itu membuatku pegal.
Tanpa kusadari, aku akhirnya mulai mengantuk dan menguap untuk beberapa saat. Aku mengusap kedua mataku yang mulai terasa berkunang-kunang. Setelah itu, semua mata seakan tertuju padaku.
Aku berkedip cepat, dan ternyata memang benar. Semuanya sedang memperhatikanku. Dengan perasaan canggung, aku ikut menoleh ke luar jendela. Mungkin tadi mereka melihat ada helikopter jatuh atau semacamnya.
“Jake?” Miss Lily memanggilku.
Oh, sial. Aku pasti menguap terlalu lebar. Sekarang, semuanya sudah melihat betapa mengerikannya gigi-gigiku. Kemudian, aku menoleh tanpa menjawab, berusaha bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa pada diriku. Namun, ini terasa sulit, karena semakin aku bersikap tenang, mata-mata itu semakin menusukku lebih dalam. Bahkan, ada yang secara terang-terangan menyebutku “monster”. Aku menunduk malu menahan tangis.